
Tapi kira-kira dua minggu sebelum orientasi mulai, saya masih di Riau. Saya tidak tau bagaimana, tapi saya ingat apa yang saya lakukan waktu itu. Saya duduk bersila di lantai di ruang tamu. Beberapa formulir tersusun rapi di atas meja di depan saya. Dokumen ijazah SMP tertera di sebelahnya. Formulirnya ada dua kopi, meskipun yang dibutuhkan sebenarnya hanya satu saja. Pertanyaan di formulir itu berbahasa Inggris, sehingga hadirlah juga kamus lengkap Inggris-Indonesia di meja itu. Pertama saya mengisi satu formulir pakai pensil, hapus sana hapus sini sampai akhirnya selesai diisi. Setelah itu, baru saya transfer isiannya ke formulir yang akan beneran dikirim, kali ini pakai pen dan sangat hati-hati. Saya masih kebayang, papa ada di sebelah, sebentar-sebentar menyuruh saya untuk menulis lebih besar dan kami sempat heboh mencari tip-ex gara-gara saya salah tulis (tipikal).
Tidak pernah terbayang kalau apa yang kami kirim hari itu memutar arah hidup saya. Sungguh. Saya tidak berharap sama sekali kalau orang-orang penting di departemen pendidikan Singapur akan memilih saya. Tapi, 2 bulan kemudian datanglah surat panggilan itu ke rumah Opa Oma di Semarang. Saya tidak ingat persis apa yang terjadi waktu itu, yang jelas saya masih dalam masa adjustment di sana. Masih aneh rasanya tinggal dengan Opa Oma Om Tante, 2 sepupu, dan kakak saya, tanpa ada orang tua. Meskipun makanan di Semarang jauh lebih enak, saya masih kangen sama kerupuk cabe Dumai yang dibeli di warung mesjid dekat rumah. Surat panggilan itu mengatakan, saya harus datang ke Jakarta untuk ikut ronde ke-dua pemilihan: tes tertulis. Senang sekali rasanya! Singkat cerita, datanglah saya ditemani mami ke sebuah hotel besar di Jakarta, tempat di mana tesnya diadakan. Wah... yang datang ternyata banyak... Sebagian besar anak-anak Jakarta, datang masih memakai seragam sekolah dan ngobrol sesama mereka yang satu sekolah. Tes tertulis ini juga diadakan di Medan, sehingga saya tidak terbayang bagai
mana caranya saya akan menembus kerumunan ini. Ajaib di mata saya, pemerintah Singapur berhasil mengumpulkan pucuk-pucuk generasi masa depan Indonesia untuk kemudian dipilihi yang paling hijau dan ditanam di negara mereka. Jenius!
Ada satu anak laki-laki. Cenderung cerewet, sangat pintar, termasuk muda untuk angkatan saya. Kami berbaris berdekatan ketika menunggu masuk ke ruangan tes. Dia bilang dia datang dari Jawa Tengah, amat bangga kelihatannya ketika dia menantang orang-orang di sekitarnya untuk menebak dari kota mana kah dia? Si anak pintar Pekalongan ini lah satu-satunya orang yang saya ingat dari waktu tes itu yang akhirnya sama-sama pergi ke Singapur. Tes tertulisnya terdiri dari tiga bagian: tes IQ, matematika, dan bahasa Inggris. Saya tidak terlalu ingat tentang tes IQ dan matematika, tapi saya ingat ada bagian mengarang untuk tes bahasa Inggris dan saya menggombal dua halaman tentang menonton film yang sesungguhnya belum pernah saya tonton, saya cuma pernah baca sinopsisnya.
Entah bagaimana, gombalan saya berhasil, dan mereka tertarik untuk mewawancara saya di ronde yang terakhir. Saya dapat surat undangannya 1 bulan kemudian dan sempat kecewa melihat surat yang datang sangat tipis. Pertamanya saya kira, sudah lah, sudah bagus terpanggil tes tertulis, Loyola juga sangat menyenangkan waktu itu, saya bener-bener suka pulang sekolah naik becak yang digenjot sama Pak Sawabi. Tapi ternyata setelah dibuka, bukan sulap bukan sihir, saya terpanggil. Maka datanglah saya kali ini dengan papi ke hotel bintang 5 lagi di Jakarta. Ada kira-kira 8 orang yang diwawancara hari itu dan saya orang kedua dari akhir. Walaupun begitu, kami sampai di ruang tunggu sebelum orang pertama dipanggil masuk. Tersiksa rasanya menunggu sambil pura-pura asik membaca novel, padahal jantung saya mau copot dan pikiran sudah kemana-mana. Tapi akhirnya saya dipanggil juga. Ada tiga orang pewawancara, tapi hanya satu yang dominan bertanya; dialah wanita rapi jali kepala sekolah Methodist Girls' School. Setelah kira-kira setengah jam diwawancara, saya bisa bernafas lega, dan dengan
tersenyum lepas berjabat tangan dengan mereka semua.
Di ronde-ronde sebelumnya, saya punya attitude "nothing to lose", kalau ga dapat saya ga akan kenapa-kenapa. Malahan saya berasa ah ga mungkin dapat lah, lihat saja anak Santa Ursula yang datang bejibun gitu (sori Lice.. hehe). Tapi, setelah keluar dari wawancara terakhir itu, saya ada feeling, rasanya ada chance yang lumayan buat saya beneran berangkat. Saya sudah sampai di terminal, tapi tiket saya masih waiting list! Tanggung sekali rasanya... Syukurlah sebulan kemudian, sepuluh tahun yang lalu, diujung tahun 2000, berita baik itu datang seperti mimpi. Tertera di dalam suratnya, "You have been shortlisted to recieve..... bla bla..." Perlu membuka kamus lengkap Bahasa Inggris- Indonesia sekali lagi untuk memastikan apa itu artinya "shortlisted." Saya dan keluarga tidak pernah memikirkan opsi lainnya, pokoknya kalau
saya sampai dapat, sudah pasti saya akan terima tawarannya. Saya meninggalkan teman-teman Loyola, orang tua, kakak, opa oma, keluarga lain, Pak Sawabi, serta Paiman, tukang leker di sekolah yang pernah masuk TV gara2 kemantapan lekernya (eh atau Paijo ya?). Entah apa yang dijanjikan pemerintah Singapura, saya juga tidak jelas sebenarnya. Yang saya tau, di Singapur saya akan masuk sekolah jam 8 pagi (lebih siang dari di Indo), dan tidak ada sekolah hari Sabtu! Beneran, saya lebih gembira mikirin itu daripada zero tuition fee.
In all seriousness, saya belajar banyak di Singapur. Bukan cuma pelajaran dan bahasa Inggrisnya saja. Saya belajar tentang pertemanan, bagaimana bisa akur dengan roommate, urus ini itu sendiri, cuci baju, mengatur waktu, dsb dst. Dan sering saya pikirkan, seandainya saya tidak berkesempatan pergi ke Singapur waktu itu, rasanya saya ga mungkin mendarat di Austin, apalagi sekarang terdampar di Ithaca. Meskipun selama di Singapur saya dan teman-teman sering mengeluh tentang pelajaran yang berat, sistem edukasi yang memberi nilai pada semua hal termasuk ekstrakulikuler dan volunteering, sopir bus yang mencemeeh kami anak bertampang Cina yang tidak bisa berbahasa Mandarin, setelah dilewati, semuanya worth it buat saya. Kok bisa ya saya lewati 10 taun belakangan ini? Saya dijawab oleh sebuah status facebook seorang kenalan yang baru saja lulus dari Cornell:
"When we look back and wonder how we ever made it through, we realizeit is not because we have been clever but because God has been wise;not because we have been strong, but because God has been mighty;not because we have been consistent, but because God has been faithful."

Dengan segala kerendahan hati, sebuah kehormatan untuk bisa menjadi bagian dari Golden11: angkatan ke-sebelas dari ASEAN scholarship untuk Indonesia. Dan sekarang, dibuka pendaftaran untuk angkatan ke-21, entah apa nama angkatan kalian nantinya. Kalau memang sudah dalam rencana-Nya, bersiaplah untuk berputar arah.
ASEAN Scholarship for Indonesia, terima kasih dan lima bintang dari saya.
8 comments:
bwahahaha @ anak2 sanur... thanks for such a nice post! jadi sedikit bernostalgia juga. dulu kita bener2 suffered a lot tapi sekarang baru bisa bilang kalo asean scholarship does worth it :)
iyaaaa anak2 sanur yang kalo duduk ngangkang dan kalo abis makan sendawa.. hihihihi... pulang dong lice agustusss!!!
wah lucu yang bagian menggombal tentang film yang belum pernah ditonton.. jadi penasaran film apa tuuuh? udah ditonton blom sekarang? beli dvd orinya ya.. jgn yang bajakan :p
gw coba2 inget filem apaan tapi ga bisa ger... i first thought it's shrek? but shrek came out in 2001, that can't be it.
waaah benar2 pintar boong ya wkwkwkwk.. jgn2 yang waktu itu ditulis benar2 cerita karangan sendiri :p
hehe jangan gitu dong ger.. pinter mengarang gitu loh, lebih halus ;)
Baru sadar tulisan yang ada di foto."Q11: we survive under pressure" Hahahaha. You guys rock!
iyah.. dulu kaosnya kan tulisannya itu.. hahaha...
Post a Comment