Pages

Tuesday, October 26, 2010

Mbah Maridjan Tidak Turun

Rumahnya kini terbakar dan ditutup abu. Anggota rumahnya dan tetangga-tetangganya sudah meninggal beberapa. Yang berhasil ditolong pun terkena luka bakar parah. Tapi dia tetap tidak mau turun lereng. Sekeramat itu kah beban tugas seorang kuncen Merapi? Saya bisa membayangkan tugas kuncen masjid atau mungkin kuncen sebuah goa, tapi kuncen gunung Merapi, masih tidak terpikir sebenarnya apa job descriptionnya. Yang jelas meskipun sudah ditemukan lemas, dia tetap mau berada di sana, di tengah bau belerang dan asap panas, setia mendampingi gunungnya.

Gunung meletus, siapa yang bisa menahan? Tsunami datang, tidak mungkin dihalang. Suratan takdir, kalau kata ibu-ibu kita. Lalu bagaimana dengan banjir? Sepertinya takdir juga, kalau mendengar pemimpin Jakarta, Foke atau Fauzi Bowo berpendapat, "Ini musim hujan. Dari bayi sampai nenek-nenek juga tahu kalau bakal banyak yang masih tergenang." Lalu, solusinya? Sepertinya mirip-mirip dengan evakuasi lereng Merapi yang menyelamatkan banyak jiwa: "Bagus, buru-buru lu pindah dari Jakarta, gue girang juga." Ah, mendengar kalimatnya saya jadi teringat alm. Benyamin S di Si Doel yang keluar rumah dengan sarung dan pecinya sambil ngomel ke Mandra yang males-malesan narik bemo. Betawi banget deh pemimpin Jakarta.

Dan setelah dilihat-lihat, Foke pun makin mirip dengan Mbah Maridjan. Sebagai kuncen ibukota, di tengah bencana alamnya, dia juga tidak mau "turun" dan susah diminta berkomentar. Dilanda suratan takdirnya, dia seperti tidak berdaya, tapi tidak rela juga melepaskan tugasnya. Saya tidak mengerti isi hati, intensi, dan alasan-alasan di balik semuanya. Sebagai penonton dari jauh yang "cuma" bisa berdoa khususnya untuk 2 bencana ini, saya berpendapat, bagi bapak-bapak kuncen berdua, kurang masuk di akal sehat, Pak, kalau bapak tidak turun. Untuk kebaikan bapak sendiri dan banyak orang.

1 comment:

Handi Chandra said...

iyah tuh, panggil tim SAR indo untuk kaja turun Foke