Pages

Monday, January 03, 2011

Flipped

Sebelum jadian, pacaran itu di kepala saya sangat ideal. Satu, harus saling percaya. Dua, harus saling mendukung. Tiga, harus saling pengertian. Empat, komunikasi harus lancar. Terus sampe entah ke nomer berapa. Misalnya saya dicurhatin seorang cewe anonimus dan tidak bernama yang bilang kalau cowonya (long distance nih ceritanya) suka pergi sama cewe laen, tapi perginya selalu rame-rame si sama teman yang lain juga. Si cowonya ini kebetulan satu program sekolah sama itu cewe, jadi kalo ke kelas dan pergi ke kampus jadi sering bareng. Tambahan lagi, apartmentnya juga satu gedung. Alhasil lah emang sering mampir-mampir. Si cewe anonimus pun jadi sering mengungkit-ungkit hal ini, sering nangis, dan jengkel kalo lagi telpon dan tanya cowonya lagi bareng siapa, jawabannya ada nama itu cewe diantara sederetan nama lainnya. Ini kejadiannya dah rada lama, dan waktu itu, saya yang culun-culun ga ngerti pacaran, coba menenangkan si cewe anonimus. Ya elu mesti percaya lah sama dia, kan perginya juga selalu barengan yang lain, ga berdua doang. Kan dia juga jujur tuh, ga pernah bohongin kalo emang itu cewe lagi ada sama dia, berarti dia emang biasa-biasa aja dong. Lu ngerti juga lah kan ada perbedaan waktu, kalo lu di sini pagi, dia di sana kan weekend malem, emang lagi keluar-keluar main. Dan nasihat terakhir: lu mesti komunikasiin semuanya sama dia, cerita aja sama dia persis nih kaya yang lu bilang ke gw sekarang. Jadi kan dia lebih ngerti perasaan lu gimana. Dan jawaban si cewe anonimus ke saya: Ga segampang itu, Vid. Some feelings you just have to keep from your boyfriend. It's more complicated than what you think.

Waktu itu saya berasa, wah kok si cewe anonimus tidak rasional. Apa susahnya bilang aja jujur-jujur. Kalo emang si cowo ga bisa terima perasaannya dia yang jujur, dan ga bisa berubah juga, ya udah berarti mereka ga cocok. Dan kalo mereka emang ga cocok, bagus lah decide untuk putus sekarang daripada nanti nikah dan masih menyembunyikan perasaan atau hal lainnya.Sodara-sodara, kalau saat ini saya punya time machine dan bisa kembali ke masa itu, saya akan pergi ke dapur mengambil panci, pergi naik time machine menemui saya versi culun, dan menggetok kepala si culun pake panci. Because now I agree, it IS more complicated than what I thought.

Teman cewe yang saya kenal ini anaknya sangat mandiri, pinter, rajin, sedikit keras dalam berpendapat, istilahnya didahinya tercap tulisan: you can't mess with me. Untuk karakternya yang tegas, saya kasih dua jempol. Tidak heran waktu itu saya tidak mengerti kenapa kok dia ga bisa berkarakter seperti itu di depan cowonya. Tapi belakangan ini saya pelan-pelan tau jawabannya, karena saya juga merasakan. Sekeras apa pun cewe, dia bisa menjadi "lemah" di hadapan orang yang dicintainya. Mungkin bisa jadi, dengan cinta, datang rasa menghargai dan hormat. Sehingga semua argumen yang sudah disusun dan disimpan rapi untuk amunisi tiba-tiba tidak jadi dikeluarkan. Yang keluar cuma tangisan cengeng ala sinetron India. Ada juga rasa tidak ingin melukai perasaan orang yang kita sayang. Atau kadang-kadang, perasaan kita terjawab dengan alasan-alasan logis si cowok, sehingga sulit untuk menjelaskan apa yang dirasakan. Tapi, saya menggetok si culun bukan karena apa yang dia katakan salah. Tidak salah untuk berkomunikasi jujur, justru memang benar harus begitu. Saya getok dia karena dia tidak peka, tidak mengerti perasaan temannya, dan semestinya mendengar dulu sebelum berpendapat. Mungkin kata-kata yang keluar lebih berkenan dan justru mengena.

Ada seorang teman lain sebut saja Miss Future Minister of Finance atau Miss FMF. Di saat masa depannya gemilang karena dia berhasil secara akademis, kerjaan, perencanaan hidup, dan karakter yang juga patut diacungi jempol, dia belum mendapat jodoh. Bukan karena apa-apa, sebab dia cantik dan menarik, tapi karena yang namanya belum, ya belum. Tapi entah kenapa, dari cerita-ceritanya cowo-cowo yang pernah dipacarinya dulu tidak bertahan lama, tidak lebih dari hitungan bulan. Dan putusnya pun kurang mengenakkan karena beberapa dari mereka berselingkuh. Pertanyaannya adalah, kenapa Miss FMF dengan watak dan otaknya yang cerdas bisa berpacaran sekaligus dibohongi oleh cowo-cowo tak bertanggung jawab itu? Kenapa dengan kemampuannya untuk menganalisa ekonomi negara, keadaan sosial politik, dan menulis serta berbicara dengan kritis dia tidak berhasil menganalisa pasangannya? Tentu bukan karena dia bodoh. Cowo-cowo itu yang bodoh!!! Ups sori, kebawa emosi. Maksudnya, kayanya cowo-cowo itu rada minder dan keder dengan kemandirian Miss FMF. Tapi, intinya, itulah cewek. Kadang-kadang kami meletakkan kepercayaan dan respect berlebih pada orang yang dicintai. Dan cinta itu ga bisa dianalisa kaya ekonomi, pake prediksi nilai uang di masa depan, atau trend ekonomi yang dilihat dengan regresi linear.

Saya pun jadi ingat dengan filem judulnya "Flipped" yang baru saja ditonton, pertama kali di dalam pesawat, dan kedua kali di rumah temen yang kesenengan dapet filem bagus. Ceritanya, ada anak perempuan yang bertemu tetangga barunya, seorang anak laki-laki, waktu mereka kelas 2 SD. Dari saat pertama, si anak perempuan langsung jatuh cinta disebabkan oleh mata si anak lelaki yang biru, dalam, dan menawan hati. Si anak perempuan ini pintar dan berani, dia menang science fair, dan sukanya memanjat pohon sycamore dan membela mati-matian ketika pohon tersebut hendak ditebang. Tapi, lagi-lagi sampai kelas 6 SD si anak perempuan ini masih terus cinta kepada anak lelaki, meskipun dia sudah disakiti berulang kali, dan memang lama-lama dia meragukan keafdolan si cowok. Padahal menurut saya si cowonya engga banget deh, meskipun memang rada cakep. Ya itu lah, achilles heel nya kami kaum cewek. Kami memang didesign untuk menjadi support systemnya cowok. Jadi, kalau berhadapan dengan seseorang yang dicintai, secara alami seorang cewe akan mensupport, kadang-kadang tanpa perhitungan, tidak peduli si cewe sepintar dan seberani apa. Tidak masuk akal memang.

Saya sendiri pertama kali nangis gara-gara cowok sekitar pertengahan tahun 2009. Dan ga enak rasanya. Nangis saya ada dua versi. Kalau muka saya tidak jelek, artinya saya tidak nangis dari hati yang paling dalam. Seperti ketika saya menangisi kisah-kisah hidup orang yang rumah bobroknya disulap jadi mewah di "Extreme Home Makeover," atau menangisi kelelahan fisik dan mental sebagai pelajar di ujung semester, contohnya. Jenis yang kedua adalah yang membuat mata saya merah, hidung saya makin bulat membengkak, dan membuat lengan baju, handuk, serta sarung bantal penuh dengan ingus. Ini dia nangis top markotop sepenuh jiwa raga. Dan waktu itu saya nangis kaya gitu: top markotop. Tapi, setelah jadian ini, saya pun lebih mengenal apa itu cinta, dalam banyak konteks yang berbeda. Saya jadi tau sebagai cewe, rasanya kaya apa kalau berasa ditinggal atau dikecewain. Saya jadi harus belajar gimana caranya memaafkan lalu melupakan, sehingga yang sudah selesai tidak diungkit lagi. Jadi tau juga rasanya dimaafkan atas segala kengeyelan, kemanjaan, dan kemarahan saya. Jadi belajar juga cara pandang cowo seperti apa, mencoba mengerti mereka meskipun terkadang masi tidak mengerti juga.

Secara general, menurut saya, begitu lah cewe, banyak titik lemahnya dihadapan si cinta. Meskipun begitu, jangan kuatir para wanita, kaumku tersayang (ciaelah..), karena begitu pula lah cowok, juga banyak titik lemahnya (yesh! High five!). Kalau tidak begitu cinta tidak ada artinya, karena mencintai di saat senang itu gampang, cinta tanpa melalui kecewa bukanlah cinta yang teruji. Makanya meskipun begitu, yang saya pelajari, cinta itu indah, merasuki dan membangkitkan, menyakitkan tapi menyelamatkan, pengorbanan ke kebahagiaan. Cinta itu mukjizat, hujan waktu kemarau, berlian di tanah budak, Jakarta tanpa macet. Saya lebih bisa mengerti kenapa Yesus menomorsatukan cinta dibanding beribu ajaran lainnya. Karena cinta itu permainan hati. Bersih, tulus, ga pake embel-embel. Dan hati tidak berbohong. Dan tangisan versi dua saya waktu itu adalah perjalanan menuju cinta yang lebih besar.

Selamat hari Senin semuanya!

No comments: