Pages

Thursday, August 04, 2011

Romantisme di Bawah Pohon

Minggu pertama saya datang ke Ithaca, saya jalan-jalan di kampus. Lalu sampailah saya ke sebuah taman yang cukup luas, dihiasi dengan beberapa pohon rindang. Saya ambil fotonya, dan ketika diupload ke picasa, di bagian subtitle saya tulis: One day, I will sit under those trees and think. Tapi, tentu saja pada kenyataannya setelah itu, tidak sekali pun pernah saya lakukan. Males lah, panas lah, banyak kerjaan lah, dll. Sampai akhirnya kemaren, pagi-pagi saya dapat e-mail dari library, katanya buku yang saya pesan sudah dateng. Saya cukup kaget karena sebenarnya saya cuma iseng-iseng doang loh. Setahun yang lalu saya pernah pesen artikel yang sumbernya dari Australi dan terenteeeeng... datang lah artikel tersebut. Sehingga sekarang saya coba lagi mengerjai si perpustakaan dengan permintaan aneh. Ada dua buku sebenarnya yang saya minta, yang pertama "Madre" dari Dewi Lestari dan yang satu lagi "A9ama Saya Adalah Jurnalisme" dari Andreas Harsono. Yang berhasil didatangkan adalah yang kedua. Hore hore!!

Sorenya akhirnya saya bertandang ke perpustakaan untuk mengambil bukunya. Kebetulan tempat perpustakaannya dekat dengan taman yang dulu saya foto itu, sehingga akhirnya, secara merasa sebentar lagi akan pindah, saya memenuhi keinginan tersebut untuk duduk-duduk di bawah pohon. Mungkin tidak untuk benar-benar berpikir, tapi, ah, bukannya membaca adalah bentuk berpikir juga? Saya memilih pohon yang paling dekat. Ih, banyak semutnya ternyata, ga mau ah. Lalu, akhirnya memilih pohon terdekat kedua yang cukup rindang, kering, dan tidak terlihat disemuti. Saya duduk, kemudian sedikit bingung, tas saya cukup trendi nih, masa ditaro di tanah? Beruntung saya bawa laptop yang disarungi, dan saya lebih rela untuk mengotori tas laptop tersebut yang handlenya hampir robek. Laptop saya tarok mendatar, lalu si tas trendy nangkring di atasnya.

Saya bersandar ke pohon. Wah, ternyata angle akar dan batangnya pas banget menopang punggung, serasa recliner alami. Angin sepoi-sepoi, matahari masi cukup tinggi namun diredam awan, kampus sepi karena summer, saya pun mulai baca kata pengantar Andreas Harsono, si jurnalis/blogger yang mengaku bukunya ini buku-bukuan. Tepat ketika kata pengantar habis, tiba-tiba datang lah seekor tupai (serius, ini bukan lagi mimpi jadi Snow White). Saya berdecak-decak, coba panggil dia, berbisik lembut seakan dia bakal ngerti. Padahal kalau sampai si tupai datang beneran, saya juga kurang tau mau diapakan. Dielus kah? Dulu waktu sekitar umur 8, saya pernah persis melakukan hal ini terhadap seekor anak kucing jalanan. Saya lagi naik sepeda di jalanan depan rumah waktu saya lihat anak kucing warna kuning keemasan berputar-putar bingung. Saya turun dari sepeda, berdecak-decak dan menjentik-jentikkan jari berharap dia datang. Tidak disangka, dia langsung lari kencang ke arah saya, sehingga saya tiba-tiba jadi ketakutan, cepat-cepat menaiki sepeda lagi dan menggoyes panik ke arah pager rumah. Dan si anak kucing terus mengejar saya dari belakang sambil saya teriak-teriak. Waktu kecil saya cukup bodoh.

Kembali ke si tupai, dia berjarak cukup dekat dengan saya, tapi terlihat berhati-hati seakan siap untuk kabur kalau sesuatu sampai terjadi. Dia dan saya saling pandang-memandang, saling curiga tapi penasaran. Lalu dia loncat-loncat, ternyata mendekati sebuah benda putih di dekat saya, yang sepertinya adalah gabus, tapi mungkin juga sebenarnya roti, saya tidak yakin. Setelah menggigit si benda putih, dia memalingkan muka dan loncat-loncat pergi. Tidak terlalu jauh, dari suaranya dia hanya pergi ke balik batang pohon yang saya senderi. Terdengar suaranya menggigit-gigit dan memainkan hasil petualangannya. Saya pun lanjut ke Bab 1, mengenai 9 pilar utama etika jurnalistik. Andreas ini pernah berguru dengan Bill Kovach, yang katanya jurnalis terkenal Amerika, yang juga dipuji-puji oleh Goenawan Mohamad, editor Tempo yang katanya juga terkenal. Saya mengangguk-angguk dalam hati tanda sok percaya, padahal saya tidak kenal mereka. Katanya, pilar pertama adalah kebenaran, yang bisa jadi sangatlah subjektif. Namun kebenaran ini bukan sesuatu yang mutlak, ia dapat direvisi seiring fakta-fakta baru, dan dibangun lapis demi lapis. Lalu yang kedua adalah loyalitas, yang sesungguhnya harus diletakkan pada masyarakat, bukan pada yang membayar untuk sebuah berita, bukan pada bisnis-bisnis yang ingin marketing, bukan pada partai, dan lain sebagainya. Lalu... setelah itu, si tupai datang lagi.

Di kejauhan, saya lihat ada tupai lain yang juga bermain-main di bawah pohon. Sepertinya kali ini bakal ada adegan India, di mana mereka berlarian dari jauh dan bertemu dan berputar-putar mengelilingi pohon. Tapi saya salah, kayaknya mereka masih pdkt malu-malu saja. Ah, kenapa saya jadi seperti anjing yang di film "UP" yang selalu terdistract kalau lihat tupai?? Lanjut ke elemen ketiga jurnalistik yaitu verifikasi yang ada 4 metodanya: penyuntingan secara skeptis, memeriksa akurasi, jangan berasumsi, dan pengecekan fakta. Sampai sini saya bingung. Kok kayanya 4 metoda itu mirip-mirip doang, hanya memakai deskripsi yang berbeda? Lalu di belakang saya, terdengar orang lalu lalang. Sepintas saya dengar mereka berbicara tentang the motivational poster. Eh, apa saya lagi diomongin ya, duduk di bawah pohon kan cocok tuh jadi gambar motivational poster. Ini dia sindrom orang pemalu sekaligus peng-geer. Tapi, serius, orang pemalu yang ekstrim yah, biasanya sampe ga berani keluar-keluar rumah karena dia merasa diliatin orang dan diomongin. Namanya social anxiety, tapi versi gawatnya, yang menurut saya adalah sindrom ke geer an sebenernya. Terlalu fokus sama diri sendiri, berasa selalu ada yang salah, sangat-sangat self-concious. Dan tiba-tiba saya pun merasa risih.. Ih orang-orang lewat gini, aneh kali ya ngeliat gw duduk sendirian di bawah pohon. Aih, padahal kalo lagi bukan summer, hal-hal lebih aneh banyak terjadi di taman ini salah satunya pasangan yang bercumbu panas, dan mereka cuek-cuek aja tuh.

Saya coba pusatkan pikiran ke buku baru lagi, sambil menambahkan elemen sendiri ke 9 elemen jurnalitik itu: FOKUS. Tapi sebentar kemudian.. celekit celekit... pas di pantat. Sial, ternyata semut-semut sudah berhasil menemukan aset berharga saya. Saya coba tahan, mungkin perasaan aja kali yah, kan ini pake jeans, masa bisa tembus. Namun celekit-celekit itu tidak berhenti. Harga diri saya terinjak-injak dikalahkan oleh semut, sehingga saya menciptakan alasan lain untuk cabut pulang: laperrrr. Terbayang indomi plus plus: indomi kuah pake telor ditambahin bakso sapi. Nyam nyaaam...

Akhirnya tidak sampai 1 bab, saya jalan pulang, sambil berpikir bahwa ternyata kadang suatu hal yang sangat indah terbayangkan, pada kenyataannya tidak nyaman. Padahal cuaca sore itu sangat asik, dan buku ditangan juga sangat menarik. Apakah mimpi-mimpi saya sebenarnya juga mirip dengan romantisme di bawah pohon ini? Ah sudah lah saya laper.

No comments: