Pages

Tuesday, August 03, 2010

Antara Pong, Keong Racun, dan Kripik Cabe Dumai

Sensasi di Indonesia memang ga ada matinya, setiap bulan dan jaman, pasti ada aja yang lagi heboh. Banyak isu penting yang diwartakan jadi besar, tapi lebih banyak lagi isu-isu tidak penting yang hebohnya jelas mengalahkan bocornya minyak BP di Teluk Meksiko. Tapi seperti sejarah bangsa ini yang cepat tertimbun waktu, selayaknya budaya kita yang rela memaafkan dan melupakan, begitu pula cerita-cerita heboh Indonesia: muncul, lalu hilang. Entah hilang ke mana, mungkin terbawa hanyut banjir musiman Jakarta, atau terendam lumpur Lapindo yang masih tetap di situ-situ saja.

Yang saat ini lagi hot-hotnya mengalahkan kepedasan berita harga cabe yang 30ribu/kg adalah tentu saja si Shinta dan Jojo. Dua remaja kuliahan dari Bandung yang memasang video bernyanyi lip sync di youtube. Lagu andalan mereka adalah Keong Racun, lagu yang bercerita tentang pria centil tidak tau diri yang mengajak gadis-gadis tidur dengannya. Lalu si gadis pun jual mahal dan bilang bahwa dia wanita bermartabat dengan bernyanyi dan meliuk-liuk seksi berbusana terbuka, "Sori, sori, sori, Jek, jangan remehkan aku. Sori, sori, sori, Bang, ku bukan cewe murahan." Sangat menggoda. Tapi itu lah yang terjadi, duo Shinta Jojo ini berhasil meledakkan lagu penuh ironi dan berjudul tidak nyambung ini ke kancah nasional. Seantero Indonesia jadi tau lagu ini, di youtube hits videonya mencapai 3-4 juta, twitter pun dipenuhi nama mereka, dan tiba-tiba mereka banyak muncul di TV. Heboh.

Lain lagi ceritanya dengan lelaki paruh baya, Pong. Mungkin dia jauh lebih tau tentang bagaimana rasanya tertimpa jaman. Dulunya dia aktor muda yang wara wiri di perfilman Indonesia. Sekarang, tidak ada yang tau siapa dia, "Pong? Bola ping pong atau bir pong?" Entah berapa lama dia memendam namanya dan aspirasinya. Sampai suatu hari di tengah panasnya Jakarta, dia memanjat sendirian atap kura-kura gedung DPR dan mem-piloks tulisan "Jujur Adil Tegas." Inilah vandalisme tingkat tinggi. Banyak yang pro dan kontra, saya termasuk yang pro. Biasanya saya ga suka lihat cara-cara di luar hukum meskipun tujuannya mulia, tapi rasanya ini tamparan yang pas untuk ke 540 orang wakil rakyat kita untuk kembali ke hakikatnya: mewakili rakyat. Rakyat yang bangun jam 4 pagi menuai cabai untuk lalu dibohongi tengkulak, rakyat yang penat dengan macetnya kota hingga butuh keong racun untuk hiburan, rakyat yang harus kerja hingga manula tanpa jamsos, bukan rakyat yang tidur di rapat-rapat dalam gedung ber-AC. Pong terlihat berapi-api tapi sebenarnya tidak berbicara banyak tentang aksinya, mungkin dia bukan pria penuh kata-kata. Bahkan untuk menjelaskan arti tulisan grafitinya dia singkat saja. Intinya dia mencari kekonsistensian anggota-anggota DPR, banyak masalah yang timbul, yang ujungnya tidak ada. Kalau mengurus suatu masalah, harus ada penutupan (closure), ketekunan (persistence), sampai urusannya selesai. Tidak mengambang dan tertutup masalah selanjutnya saja.

Dan setelah dipikir-pikir, mungkin dia benar. Dibalik kelakuannya yang lebih cocok dilakukan mahasiswa yang naif akan idealisme, mungkin dia benar. Mungkin ini dasar dari apa yang bangsa Indonesia harus punya: konsistensi. Mungkin ini dasar dari kesuksesan setiap orang juga. Di mana-mana sesuatu yang naiknya cepet tanpa konsistensi, turunnya juga cepet. Contohnya si Annie Taylor, seorang guru sekolah yang masuk ke dalam tong kayu dan menghanyutkan diri untuk jatuh di Niagara Falls. Dia ditunggu oleh para wartawan yang langsung ingin meliput apakah nenek 63 tahun ini hidup untuk menceritakan pengalamannya atau membawa mati kegilaannya. Ternyata dia hidup dan mencatat sejarah. Tapi pada akhirnya pun ketenaran yang dia harapkan tidak terjadi dan dia mati dikelilingi kemiskinan. Contoh lain adalah penelitian yang mengatakan bahwa pemenang lotre sebagian besar akan kembali ke tingkat kekayaan orisinalnya, atau bahkan lebih miskin daripada itu. Satu yang mereka tidak punya: konsistensi.

Buat saya konsistensi itu seperti kripik cabe dumai, tidak berubah rasanya dari tahun ke tahun, tidak berubah di mana tempat dia dijual, tidak berubah efek samping sakit perutnya. Err sebenernya setengah konsisten, setengah bisnis kurang berkembang sih. Tapi intinya, setiap saya pulang ke rumah, saya menjadi pelanggan yang terpuaskan berkat konsistensi si kripik cabe dumai. Meskipun orang tua saya bilang ada loh yang lebih enak, kripiknya lebih empuk! Tetap saja saya belum mau berubah hati. Nah yang ini setengah konsisten setengah kolot. Tapi, yang penting adalah ketika namanya melambung dan ketika namanya tenggelam cabe-cabe tetap tergiling dan produksi tetap ada. Keseharian, rutinitas, dan konsistensi yang membuat dia memenangkan hati dan perut saya.

Jadi, prediksi awam saya, Keong Racun duo akan tenggelam secepat mereka melejit seperti beribu-ribu artis ibukota yang aji mumpung dan kehilangan konsistensinya. Dan Pong Hendratmo mungkin akan termakan omongannya sendiri jika dia tidak meneruskan perjuangannya dan lanjut mencoret-coret the next target: istana kepresidenan. Mungkin kita harus mencari si ibu pembuat kripik cabe Dumai dan berguru padanya.

2 comments:

Anonymous said...

Vidia, I love this post :)

Vidia Paramita said...

hehe glad you enjoy it ran....