Pages

Saturday, July 16, 2011

Indonesia Tidak Cukup Luas Untuk Kita

Amerika adalah daratan sarat akan kesempatan, the land of opportunity. Sebuah negara di mana pendatangnya berebut mengadu nasib, yang miskin jadi kaya, yang bodoh jadi pintar, dan yang kepepet setidaknya bisa menemukan banyak cara untuk bertahan hidup. Tidak diherankan mengapa banyak sekali orang Indonesia yang hijrah ke Amerika. Tapi ternyata kesempatan tidak hanya terbuka di sana, melainkan juga di Singapura, Malaysia, Arab, Australia yang menjadi tempat orang-orang Indonesia menyemut. Fenomena emigrasi ini, baik yang sementara atau pun permanen menjadi sebuah pertanyaan untuk dipikirkan. Tidak cukup luas kah Indonesia untuk kita?

Sepengelihatan saya ada tiga golongan besar orang-orang yang pergi ke luar negeri. Yang pertama adalah dari golongan kelas atas yang memiliki kekuatan finansial yang cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Sebagian dari golongan ini lah yang akhirnya menetap di luar negeri ketika mendapat pekerjaan yang mapan di sana setelah lulus. Yang kedua adalah yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk ke negara tujuan, yang biasanya kembali setelah tenggat waktu studinya selesai. Dan yang ke tiga adalah apa yang kita panggil sebagai pahlawan devisa negara kita, atau Tenaga Kerja Indonesia. Banyak alasan yang bisa dipaparkan yang mendasari keputusan untuk hengkat dari Indonesia. Perlu diakui, sistem edukasi di luar negeri lebih terpercaya dan akses networking ke professor serta orang-orang besar lainnya lebih terbuka lebar. Kenyamanan tinggal di luar negeri juga menjadi suatu daya tarik. Di Singapura contohnya, semua bagian dari negaranya terjangkau dengan MRT dan bus sehingga sebagian besar masyarakatnya tidak mempunyai kendaraan pribadi. Keadaan jalan di Amerika yang mulus dan teratur ditambah dengan kemudahan pemakaian GPS juga membuat banyak orang malas untuk kembali ke kemacetan Jakarta. Keadaan sistem dan akses yang lebih efisien seperti sistem kesehatan, high-speed internet, tingkat keamanan, dan lain sebagainya juga membuat kenyamanan menjadi komoditi yang dimimpikan. Gaji, adalah alasan klasik selanjutnya. Ini lah yang membuat para TKI berani berangkat meskipun sudah mengetahui bahwa nasib seperti Ruyati bukan hanya dongeng belaka. Kalau kita bandingkan, di tingkat sarjana. Seorang kelulusan universitas Indonesia yang ternama pun, ketika mendapatkan pekerjaan, akan kesusahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk punya tabungan. Gaji yang diterima pekerja baru di sebuah perusahaan minyak misalnya, bisa berkisar 8-10 juta, dan beruntunglah mereka dibanding teman-temannya yang bekerja di bank dengan gaji 2 juta. Sedangkan lulusan teknik petroleum di Amerika, bisa dibayar 90,000 US dollar per tahun, yang sangat lebih dari cukup untuk hidup di sana sehingga bisa mulai menyicil untuk rumah.

Namun budaya emigrasi ini bukan salah siapa-siapa. Dari sejak zaman purba pun dikenal istilah "nomadik" bagi kelompok yang tinggalnya selalu berpindah-pindah. Bangsa keturunan Cina dan India juga sangat dikenal dengan kebiasaannya yang melanglang buana hingga akhirnya banyak kota-kota besar di dunia yang mempunyai China Town dan Little India. Singapura pun yang kita lihat negara yang enak untuk ditinggali, menghadapi permasalahan besar dengan warganya yang "kabur" menghindari sistem negara yang terkesan sedikit diktator, sampai-sampai mereka yang beremigrasi sering dicap sebagai "traitors", pengkhianat. Jadi budaya ini tidak terbatas ke isu bahwa negara yang ditempati kurang berpotensi atau tidak nyaman. Tapi ada peran kecondongan manusia untuk selalu mencari yang lebih baik, berpetualang, melihat dunia, dan tidak puas dengan apa yang dimiliki di negara sendiri.

Lepas dari itu, mempunyai orang-orang Indonesia di luar negeri membawa keuntungan yang sebenarnya cukup besar. Orang-orang inilah ambassador gratis bangsa kita. Di saat turis international tidak datang ke Indonesia, mereka membawa Indonesia ke dunia. Percakapan sehari-hari dengan teman sekelas dan teman kerja menjadi kesempatan emas untuk menetralisir pemberitaan tentang Indonesia di dunia yang seringnya berkisar tentang bencana alam, atau topik tidak penting yang tiba-tiba trending di twitter, seperti Tifatul yang menjabat Michelle Obama. Merekalah "point of contact" yang nyata bagi dunia yang langsung bisa berkata, "If you would like to donate to Indonesia, we could assist." dan "Don't worry about Tifatul, he does and says the most ridiculous things. Giving him a ministerial position is a mistake." Dan sadarkah kita betapa banyaknya produk Indonesia yang diekspor ke luar negeri. Di Amerika, setiap Asian market, pasti punya kecap manis ABC. Dan tentunya, Indomie sudah bersebaran di mana-mana, bukan hanya untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia, tapi juga oleh orang-orang Amerika yang menyadari keajaiban enaknya Indomie. Sebagai contoh, lihat saja video di ini

Pertanyaan yang sering terdengar selanjutnya, akan kah mereka-mereka ini kembali ke Indonesia dan membangun bangsa? Saya rasa jawabannya: tidak penting mau kembali atau tidak, kalau memang ada niat untuk membangun bangsa, niatan itu dapat dilaksanakan dari mana saja dan dalam bentuk yang berbeda-beda. Tetapi, ada sebuah trend yang diamati oleh Sarah Lacy (http://www.sarahlacy.com/sarahlacy/indonesia/), pengamat bisnis di negara berkembang dan senior editor dari Techcruch.com bahwa banyak dari pelajar Indonesia di Amerika yang kembali ke Indonesia, kebanyakan untuk melanjutkan bisnis orang tuanya. Dan tentunya banyak alasan lainnya mengapa mereka kembali.

While it’s all but impossible for Indians to get granted US student visas these days, Indonesians get approved at a rate north of 85%, according to the Embassy folks I traveled with for the last two weeks. “It’s amazing,” I was told. “They just never overstay.”

Mungkin ini lah kekuatan seni kekeluargaan dan gotong royong kita, yang akhirnya membuahkan hasil: bahwa selalu ada rasa ingin kembali ke Indonesia. Ini juga terlihat dari pesawat yang selalu berjubel dipenuhi oleh TKI yang mudik dari Arab atau Malaysia ketika lebaran tiba.

Maka saya rasa tidak perlu kita kuatir terkena imbas "brain drain". Sudah rahasia umum pula kalau masyarakat Indonesia di luar negeri rajin ngumpul dan ngaso dengan sesama Indonesia. Rasa kangen terhadap rumah digantikan dengan pergaulan sesama anak bangsa yang tidak lagi melihat kamu dari daerah mana atau keturunan dan beragama apa. Karena di luar negeri, semua detail terhapus dan terganti cukup dengan "Saya orang Indonesia". Kalau pun ada yang tidak kembali atau tidak berbuat apa-apa sama sekali bagi negara, ke-Indonesiaan itu bukanlah sesuatu yang gampang untuk dihapus. Dan inilah yang kita tebar seperti biji dandelion ke mana-mana.

Biar lah orang Indonesia bebas mengarungi dunia. Bukankah nenek moyang kita seorang pelaut? Lagipula tidak akan pernah ada baik daratan atau lautan yang cukup luas untuk manusia. Itulah sebabnya kita berekspedisi ke bulan dan planet tetangga, untuk mengintip ada apa sebenarnya di sana, untuk mencicip apakah ada kehidupan yang lebih baik.

***


No comments: