Kemudian kemaren malam, saya nonton sebuah filem Indo yang sebenarnya sudah lama, judulnya "Rindu Kami PadaMu". Waktu cari-cari infonya di internet, saya salah ketik judulnya menjadi "Rindu Aku PadaMu," yang keluar jadi lagunya Elvi Sukaesih =_=" Filem ini sebenernya dikeluarkan untuk menyambut Ramadhan, tapi saya kira Ramadhan hanya alasan untuk mengaitkan unsur-unsur filem lainnya yang jauh lebih kental daripada religi. Inti ceritanya tentang 3 orang anak SD yang sama-sama tinggal di sebuah sudut pasar Jakarta yang bergumul dengan problemanya sendiri-sendiri. Yang satu ditinggal pergi ibunya yang dulunya sering mendapat KDRT oleh bapaknya, yang satu ibunya sudah meninggal dan sangat merindukan kehadiran sosok wanita dewasa yang mengayomi, yang satu lagi seorang bisu yang diangkat anak 6 bulan yang lalu oleh penjaga warung di pasar itu ketika rumahnya digusur. Lalu lebih dari itu ditonjolkan pula interaksi antar agama dan suku, ada yang Cina, Padang, Sunda, Betawi, yang bisa harmonis karena senasib sepenanggungan. Memang sebuah perjuangan yang sama biasanya melunturkan semua perbedaan.
Lucu aja melihat bagaimana masing-masing anak ini mencari tempatnya yang sesuai dan mencari perhatian dari orang-orang sekitarnya. Sebenarnya sedikit miris sekaligus karena dari keluguan dan perjuangan mereka untuk perhatian, saya menyadari bahwa inilah gambaran banyak dari anak-anak Indonesia. Di antara kemiskinan mereka berusaha untuk bersenang-senang seadanya, tapi sering kali terganggu karena mesti ikut memikirkan keuangan. Belum lagi ketika dihadapi dengan permasalahan pribadi, tidak ada tempat aman untuk dicurhati, karena semua orang sibuk bekerja dan punya masalah sendiri-sendiri. Padahal ketika kita kecil itu lah saatnya pendapat dan pemikiran kita harus didengarkan, sehingga jadi percaya diri dan semangat untuk berfikir serta mencari jawaban.
Saya memang ga punya anak (obviously), tapi saya bisa berusaha untuk ingat-ingat gimana rasanya jadi anak-anak dulu. Semakin ke sini saya dan banyak teman-teman sebisa mungkin berpenampilan dan berfikiran dewasa, melawan segala kekanak-kanakan yang masih tersisa. Tapi kadang kita lupa kalau kita bisa begini karena apa yang kita explore waktu umur 7, barang yang kita korek-korek, buku yang kita baca, dan orang-orang dewasa yang kita temui. Seharusnya sampai kapan pun kita tetap explore, korek-korek, baca, dan bertemu dengan orang-orang, sehingga 20 tahun di masa depan perkembangan kita sepesat 20 tahun terakhir ini.
Dan begitu pula lah kita seharusnya terhadap anak-anak yang kita temui. Semestinya saya bisa memandang mereka dan berkata, "Saya dulu kayak kamu, sekarang saya jadi begini. Kalo kamu pengen jadi kaya apa?"
No comments:
Post a Comment