Pages

Wednesday, September 28, 2011

Terima Kasih


Akhirnya hari Jumat kemarin saya sidang juga. Perjalanan panjang menuju sidang yang berlangsung tidak lebih dari 2 jam tersebut. Sering saya bilang bahwa dua tahun terakhir ini, saya belajar bukan tentang teknik kimia atau teknik lingkungan, saya lebih banyak belajar tentang ilmu-ilmu praktis. Contohnya adalah bagaimana membawa diri di lingkungan yang isinya orang-orang pinter semua, gimana menghadapi professor atau orang-orang yang bertingkat super tinggi, menghadapi stress, keminderan, dan ketidakpastian, memanage waktu dan memotivasi diri, bergaul dengan banyak orang baru, dan lain sebagainya. Dalam hal urus-mengurus kehidupan sehari-hari beserta birokrasinya juga begitu. Mulai dari pendaftaran macam-macam, sekolah, visa, ijin kerja, sampe akhirnya jadi mbak-mbak sales jualan mobil. Ketika mulai melakukan hal-hal besar seperti itu, saya jadi bisa merasa bahwa.. waaah... saya sudah besar yaaa... hehe.. Tentunya tidak semua berjalan mulus, banyak hal yang terjadi yang membuat saya terjungkal-jungkal. Seperti semut yang berjalan melintasi dahi saya yang penuh jerawat ini, perjalanan saya juga banyak "grenjel-grenjel"-nya. Untungnya bukan hal yang besar-besar, tapi cukup membuat deg-degan dan frustasi.
Tahun lalu saya pernah bilang di blog ini bahwa saya ga bisa lihat bagaimana saya bisa lulus, sepertinya ujungnya sangat jauh. Saya juga merasa kadang-kadang ada yang memindahkan garis finish saya sehingga saya ga sampai-sampai. Kalau sampai saya lulus, terima kasih saya yang pertama tentu untuk Tuhan. Hanya kasih-Nya yang memampukan, tenaga-Nya yang memberi kekuatan lahir batin, dan jalan-Nya yang memberi ijin untuk membiarkan saya lewat, bukan karena saya pintar, beruntung, atau bekerja keras. Terima kasih Tuhan untuk tidak memberikan sesuatu yang mudah untuk dicapai, sehingga saya tidak bisa menyombongkan kemampuan saya ataupun merasa hebat. Mudah-mudahan apa yang saya sudah lalui dan apa yang akan saya perbuat di masa depan hanya untuk kemuliaan-Nya.
Terima kasih yang kedua untuk orang tua saya. Orang tua yang benar-benar mau yang terbaik bagi anak-anaknya, bukan yang terbaik menurut definisi mereka sendiri, tapi apa pun yang membuat saya dan kakak saya bahagia. Bahagia sesuai dengan arti kami masing-masing. Untuk saya, banyak sekali uang yang mereka keluarkan, terutama untuk biaya pendidikan di Amerika ini. Tapi lebih dari itu, mereka lah yang menemani saya di telpon ketika saya jongkok menangis di koridor sekolah karena ingin berhenti (ini playgroup atau uni?). Entah berapa kali mereka dengan sabar mendengarkan saya mengeluarkan kefrustasian. Papi saya adalah orang yang paling rajin mengecek sudah berapa orang yang baca tulisan saya di Kompasiana, Mami saya adalah orang yang paling pagi bangun untuk mengecek apakah paper conference saya diterima. Sungguh, kalau saya jadi orang tua nanti, dan saya bisa melakukan setengah saja dari apa yang telah mereka lakukan, saya sudah menjadi orang tua yang baik. Terima kasih sudah membiarkan saya terbang, mempercayai keputusan-keputusan yang saya ambil, meskipun saya tau pasti mereka ketar-ketir setiap saat. Untuk doa-doanya yang tidak pernah putus, untuk harapan-harapannya bagi saya yang tidak pernah pupus.
Terima kasih untuk kakak saya yang selamanya akan menjadi orang yang saya kagumi. Seseorang yang membawa tameng untuk menjitak sekaligus melindungi, seperti yang saya pernah bilang sebelumnya. Salah satu orang yang paling caring yang pernah saya temui, sekaligus orang yang paling independen. Terima kasih sudah menjadi role model yang luar biasa. Untuk keluarga besar yang terlalu banyak untuk disebut satu per satu, Opa Oma, Om Tante, dan sepupu-sepupu. It takes a village to raise someone well. Terima kasih untuk support, doa, dan semangat yang diberikan.
Untuk pacar saya yang juga menjadi target pelampiasan frustasi dan omel-omel kanan kiri. Salah satu orang yang paling baik dan sabar yang saya kenal. Terima kasih untuk cintanya yang besar dan pengertiannya di saat saya lagi sibuk ataupun di saat saya lagi manja. Sangat senang kita bisa berjuang di sekolahan bareng-bareng, sehingga lebih mengerti apa susahnya dan apa senangnya. Mudah-mudahan gaji dan prestige kita lebih tinggi yang dengan lanjut sekolah ini (looooh??) hehe.. I can't wait to see you again.
Interaksi saya dengan profesor pembimbing adalah sesuatu yang unik bagi saya. Dia memasukkan saya ke dalam research groupnya dan memberi saya "beasiswa" yaitu uang sekolah gratis dan gaji bulanan pada saat yang sangat tepat. Tidak butuh waktu lama baginya untuk merekrut saya; hanya 2 kali pertemuan singkat dan melihat CV saya. Sampai sekarang saya serius ga tau bagaimana dia bisa tau bahwa saya adalah orang yang tepat untuk dihadiahi segitu banyaknya uang dan kesempatan serta segitu besarnya tanggung jawab. Di dalam ketidakmengertian saya dan ketidak-percaya-diri-an saya, saya hanya bisa menenangkan diri dengan mengingat bahwa dia adalah profesor Emeritus yang sudah mengambil ratusan murid. He knows potential. Kalau dia bisa lihat itu, saya sendiri harus bisa lihat potensi yang saya punya. Semester pertama saya dengannya adalah masa-masa paling membingungkan. Dia orangnya banyak melepaskan anak muridnya untuk mengarahkan researchnya masing2. Sementara saya waktu itu bermental kacung tingkat tinggi yang sangat ingin diberitahu harus ngapain. Di research group ini juga saya bertemu orang-orang pintar, yang pintarnya belum pernah saya temui di mana-mana. Setiap kali group meeting saya sering diam takut berbicara, dan setiap kali meeting berdua dengan si profesor, saya sangat takut seolah-olah akan menghadap dewa sakti.
Long story short, baru kira-kira 4-5 bulan belakangan ini akhirnya adjustment period saya bisa berakhir. Ya, masih ada rasa takut dan minder, tapi jauh berkurang dan saya sudah bisa melihat titik terang di ujung lorong. Paling tidak saya tau ke mana arah saya berjalan dan deadline-deadline untuk menyelesaikan semuanya. Saya pun mulai mengenal lebih si profesor dan teman-teman group yang hatinya baik-baik. Si profesor yang senang bersepeda, yang travelling recordnya ga tanggung-tanggung, yang bisa bekerja bagaikan dia punya 8 otak. Dibalik kejeniusan, badan jumbo, dan karismanya, dia lah orang yang paling concern waktu teman saya kena virus mono, dan dia yang selalu have my back ketika urusan visa saya rada berantakan, dia yang berbicara langsung ke orang-orang kunci untuk memastikan saya tidak ilegal dan saya bisa dibayar. Dia yang selalu bilang ke orang-orang bahwa dia mau saya lanjut Phd. Tapi pada akhirnya dia yang bilang ke saya bahwa inilah hidupmu, dan you know what's best for yourself. Dia meng-email orang tua saya personally untuk berterima kasih atas hadiah miniatur sepeda dari Jawa. Dan butuh orang yang sangat pintar, sekaligus sangat rendah hati, untuk sering berkata: please entertain my stupid questions (lalu setelah itu melancarkan pertanyaan-pertanyaan yang walaupun basic, sangat memusingkan untuk dijawab). Saya tidak tau bagaimana cara berterima kasih sama dia, yang telah membukakan begitu banyak kesempatan untuk saya belajar serta mengagumi dan ikut mempraktekkan karakter-karakternya. Jika nanti kaya punya anak buah (baik pegawai di kantor maupun pembantu di rumah), saya akan selalu ingat bagaimana caranya menjadi seorang pemimpin dan pemotivator yang baik sepertinya.
Lalu untuk teman-teman dekat saya di Ithaca, yang kehadirannya banyak sekali mengurangi rasa stress. Memang sebagai cewe, rasanya kalo ga sharing tuh ada sesuatu yang lama-lama membludak. Terima kasih untuk menemani saya dan untuk pertemanannya. Banyak orang yang masuk ke sekolah bagus untuk mendapatkan networking yang kuat. Tapi orang-orang besar yang kita temui di conference, talks, atau career fair akan hanya jadi tumpukkan kartu nama. Untuk mereka kita menyiapkan “elevator speech”, rangkaian kalimat yang dilatih berulang-ulang untuk membuat sebuat impresi bagus. Sangat palsu dan penuh intensi tersembunyi. Pertemanan adalah networking terbaik, orang-orang yang tidak akan pernah lupa sama kita, yang saling membantu bukan hanya untuk karir tapi untuk lebih banyak hal yang penting dari itu. Tidak perlu elevator speech sambil menahan deg-degan, hanya perlu makanan di atas meja sambil ngobrol ketawa-ketawa. Teman adalah terapis gratis terbaik.
Masih banyak yang harus diterimakasihin. Teman-teman kantor, terutama yang kerja bareng saya di grup biofuel. Kita saling ga tau bareng dan belajar bareng. Cowo-cowo di kantor yang sering maen tembak-tembakan kalo sore kira-kira jam 3-an, atau jam berapa pun di hari Jumat (ini playgroup ato kantor?). Sekretaris-sekretaris dan staff department yang membantu dalam banyak hal dari urusan travel sampe urusan computer. Mengobrol dengan mereka membawa banyak pencerahan, karena mereka seolah mengerti bahwa hanya mereka lah orang-orang aman untuk dicurhati bagi anak-anak rantau. Ga mungkin kan curhat ke professor?
Saya pernah diingatkan bahwa sebenarnya cara berterima kasih yang baik dan benar itu adalah dengan melakukan apa yang orang tersebut lakukan untuk kita, terhadap orang lain lagi di masa depan. Misalnya, lagi rame-rame abis ngumpul, dan ada seseorang yang berbaik hati mencuci piring setelah selesai acara. Kita bisa aja bilang, “eh, makasih loh…” Tapi sebenarnya yang paling baik adalah langsung ikut bantu cuci-cuci, atau mungkin di lain kesempatan kita yang berinisiatif untuk mencuci duluan. That would be the greatest thank you to the person, not by mere words, but a thank you in action.
Jadi mudah-mudahan nanti saya bisa memberi banyak kesempatan untuk anak-anak muda lainnya untuk bersekolah seperti saya, atau paling tidak memberi motivasi, inspirasi, dan informasi. Kalau saya menjadi seseorang seperti professor saya, saya akan ingat bahwa kepercayaan akan kemampuan seseorang goes a really long way for that person. Dan “bawahan” saya adalah partner saya, bukan seseorang untuk disuruh-suruh dan dipekerjakan. Kalau saya menjadi orang tua, saya akan ingat passion dan kebahagiaan anak saya adalah pilihan dia sendiri dan saya akan melakukan yang terbaik agar dia bisa mencapai itu, dengan caranya sendiri pula. Bagi teman-teman dan saudara-saudara semua, mudah-mudahan saya bisa jadi companion yang baik di masa susah dan senang.
Ad Majorem Dei Gloriam, Filiae Melioris Aevi, Nil Sine Labore, Hook ‘em Horns, and finally Go Big Reds!

2 comments:

wiwin said...

Hi Vidia,
Wiwin nih :D

Kayanya dah pernah bilang deh, but you're a good writer! Panjang-panjang, deep thoughts lagi. Organized too.

Ngga pengen cerita2, but let's just say grad school has been so far out of my expectations. And I'm disappointing myself, to say the least.
But anyway, this post and sharing of yours has given me courage :D
Thanks very, very much!

Vidia said...

wiwiiiiin...

hang in there, surround urself with people, persevere through, enjoy learning... remember that in the end ur there just to learn.

kamu pasti pasti pasti bisa win!!