Pages

Tuesday, July 24, 2012

Jungkir Balik Paradigma Pendidikan

Ketika saya pergi mengunjungi sekolah dasar saya, rasanya seperti dibawa oleh mesin waktu, pulang ke tahun 1993. Bentuknya tidak berubah, meja dan kursinya terlihat sama, bahkan guru-gurunya sendiri tidak terlihat menua. Ada yang bilang bahwa menjadi guru itu obat awet muda, dan saya rasa pernyataan itu ada benarnya. Waktu saya duduki salah satu bangkunya, terbayang entah berapa anak yang sudah memakai bangku itu, dari tahun ke tahun mendengarkan instruksi yang serupa, tidak banyak yang berubah. Padahal, waktu telah membawa kita jauh ke dunia interkonektivitas di mana di luar sana, anak-anak kita terhubung lewat jaringan internet dan menghadapi tantangan globalisasi.

Ruang kelas. Diambil dari sini

Masih validkah metode pengajaran yang kita sudah pakai berpuluh-puluh tahun? Guru yang berdiri menerangkan di depan kelas, dan murid yang mendengarkan dan mencatat. Guru yang memberikan tugas harian, dan murid yang mengumpulkan pekerjaan rumahnya. Sekolah yang mengadakan ujian kenaikan, dan murid yang mempersiapkan dirinya untuk ulangan. Efektifkah semua itu?

Coba kita lihat beberapa alternatif yang mencoba mengubah paradigma pendidikan "guru mengajar murid mendengar" ini. Di Indonesia, kita mulai mengenal adanya beberapa sekolah alam di mana anak-anak dibiarkan bereksplorasi sebanyak mungkin. Ada sekolah alam Bogor, Cikeas, Bintaro, Tangerang, dan lain-lain. Sekolah alam ini menggunakan alam sebagai ruang belajar, sebagai media dan bahan ajar, dan sebagai objek pembelajaran. Kebanyakan dari sekolah alam ini menganut empat pilar dalam pendidikan yaitu pengembangan akhlak melalui teladan, pengembangan logika dan daya cipta melalui Experimental Learning, pengembangan kepemimpinan dengan metode Outbound, dan pengembangan kemampuan berwirausaha. Di sana anak-anak diajarkan untuk mengolah lahan dan berbudidaya, mengobservasi kejadian di sekitarnya, dan bebas tidak terkungkung oleh tembok kelas.

Dengan keinginan dasar yang mirip, yaitu pengembangan eksplorasi, di Australia diadakan program "Primary Connection". Program ini ditujukan kepada pendidikan sekolah dasar di mana fokus utama metodenya adalah penggabungan antara sains dan teknologi dengan literasi. Awalnya bermula dari ketidaksengajaan yaitu dari komentar seorang guru yang mengeluh akan banyaknya dana dicurahkan untuk program-program literasi yang membuat anak lancar membaca menulis. Di Australia, pendidikan sekolah dasar memang ditujukan untuk kelancaran literasi dan matematika. Kurangnya dana untuk program sains membuat guru ini "iri" dan lantas mengusulkan untuk membuat program sains yang berbasis literasi sehingga mereka bisa mendapat sebagian dari dana yang dialokasikan untuk literasi. Primary Connection ini juga menggunakan sistem 5E yaitu: Engage, Explain, Explore, Elaborate, dan Evaluate. Urutan 5E ini tidak boleh terbalik sehingga siswa diberi waktu untuk engage (tertarik), explain (menjelaskan), dan explore (bertualang dan mencoba-coba), sebelum si guru elaborate (menerangkan dengan utuh), dan evaluate (memberi penilaian).

Ternyata program ini sangat berhasil dalam meningkatkan kemampuan belajar dan analisa anak. Sebagai contoh sederhana, ketika anak-anak kelas 2 SD menanam kecambah, mereka pertama harus berbagi tentang apa yang mereka ketahui. Misalnya ada yang bilang, biji kecambah itu benda mati karena tidak dapat bergerak, atau jika kecambah ditanam dan tumbuh di kegelapan, biji tersebut akan tumbuh. Lalu setelah itu mereka membuat percobaan-percobaan dan membaca tentang topik tersebut. Setelah percobaan selesai, mereka diharuskan membuat laporan, seperti melaporkan tinggi kecambah setiap harinya, menggambar diagram dan menamakan bagian-bagian tanaman, dan melaporkan hasil akhir percobaan. Setelah itu, mereka mempresentasikannya di depan teman-temannya. Kemudian membandingkan dengan apa yang mereka ketahui sebelum percobaan di mulai, setelah percobaan selesai, dan pendapat dari para scientist. Dengan begitu kemampuan analisa mereka bertambah jauh, baik secara bahasa dan penyampaian, dan juga secara ilmu alam dan penelitian. Mereka dapat membuat tabel dan diagram dengan benar dan detail, memberi judul, membuat skala, dan lain sebagainya. Cara pembelajaran yang terintegrasi seperti ini juga membuat anak-anak bersemangat karena ketika belajar bahasa, mereka biasanya mengarang atau membaca cerita, tapi sekarang mereka menggunakan bahasa tersebut untuk sebuah ilmu terapan.

Metode pembelajaran lain yang relevan di masa kini adalah e-learning. Dengan banyaknya siswa yang memiliki hubungan ke jaringan internet, e-learning menjadi cara belajar yang penting untuk diterapkan. Salah satu penyedia e-learning yang paling terkenal di dunia ini adalah Khan Academy. Dimulai dari seorang paman yang iseng-iseng mengajari keponakannya dari jarak jauh, sekarang Khan Academy sudah berkembang besar menjadi penyedia e-learning yang dipakai banyak orang. Mereka menyediakan video-video yang dapat dimainkan, hentikan, dan dimulai lagi sesuai dengan waktu yang dimiliki oleh murid. Dengan begini murid dapat belajar sesuai kemampuan dan dengan kecepatan belajarnya. Di sekolah video ini dipakai dan diintegrasikan dengan "flip method" yaitu metode di mana anak murid menonton video di rumah dan di kelas mereka membahas soal-soal dan dibimbing lebih mendalam lagi. Jadi tidak lagi anak murid duduk dan mencatat di kelas, tapi justru mengerjakan "PR"nya dengan perhatian lebih dari guru serta saling membantu dengan berdiskusi dengan teman-temannya. Diharapkan cara ini lebih efektif dan tidak banyak membuang waktu karena para murid beraktifitas penuh, aktif bertanya, dan aktif pula memikirkan solusi ketika berada di sekolah.

Pak Ade Wijaya: Mengajar Fisika dari Jarak Jauh

Di Indonesia cara seperti ini mungkin belum dapat digunakan karena keterbatasan jaringan internet, dan tidak tersedianya perangkat komputer, laptop, atau tablet bagi murid-murid terutama dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Namun, penyediaan e-learning ini sudah mulai ada. Prof. Yohannes Surya, contohnya, membuat video-video serupa dengan menggunakan "smart pen", di mana beliau menulis dan tulisan tersebut langsung terekam dan beliau juga berbicara di saat yang sama, persis seperti guru yang menerangkan di papan tulis. Cara yang mirip juga dilakukan oleh Pak Ade, seorang guru fisika berdomisili di Australia yang juga mengunggah video-video pembelajaran seperti itu. 

Memang belum terbukti secara jelas jika metode-metode pengajaran yang berkembang ini menghasilkan pelajar yang lebih berprestasi atau lebih mengerti tentang mata pelajarannya. Namun sebagai pendidik (baik guru maupun orang tua) kita tidak bisa apatis terhadap perkembangan zaman terutama perubahan cara belajar di kalangan anak-anak kita. Mungkin kita dulu bisa dibilang lebih "penurut" dalam artian kita tidak terlalu banyak mempertanyakan apa yang diajarkan pada kita. Namun sekarang, anak-anak kita dapat memperoleh informasi dari sumber-sumber yang jauh  lebih banyak, sehingga mereka lebih kritis, lebih ingin tahu, dan berani berpendapat. 

Dan sering kali kita berpikir bahwa solusi terbaik adalah teknologi, padahal teknologi membutuhkan banyak dana, dan terkadang inti dari permasalahan pendidikan kita bukan kurangnya penggunaan teknologi di sekolah (walaupun itu merupakan salah satu bagian kecil dari permasalahan). Saya lebih percaya bahwa permasalahan kita terletak pada ketidakpercayaan kita terhadap anak-anak; bahwa mereka tidak belajar ketika orang dewasa tidak memberi tahu mereka jawaban-jawaban atas kehidupan ini. Padahal semua penemuan hebat di dunia berasal dari sebuah pertanyaan dan teka-teki, bukan pemberian jawaban. Jadi kalau kita mau anak-anak kita menjadi generasi yang memajukan bangsa dan dunia, kita tidak dapat lagi sekedar menuntut mereka datang ke sekolah, duduk manis, dan mendengarkan "ilmu pengetahuan" yang para guru berikan ke mereka.

Dalam buku klasik pendidikan "Pedagogy of the Oppressed" oleh Paulo Freire lebih dalam dijelaskan tentang konsep pendidikan yang memerdekakan. Sebuah kooperasi antara guru dan murid yang belajar dari satu sama lain, karena para murid harus dilihat sebagai manusia yang mempunyai pengetahuan dan pendapat untuk mempengaruhi guru-gurunya, bukan sebagai objek yang tertekan (oppressed).

Lagi pula, apalah pengetahuan yang tidak berujung dari pengamatan. Dan siapa yang bisa berkata apa yang kita ketahui sekarang adalah 100% kebenaran abadi? Bukankah pada suatu jaman dunia ini dikatakan lempengan rata? Bukankah kita pernah percaya bahwa matahari setia mengorbit bumi?

Salam pendidikan,

Vidia

- Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Sampoerna School of Education - 

No comments: