Pages

Tuesday, July 10, 2012

Ketika Ki Hajar Tidak Ada

"Anda kan sudah bersekolah di macam-macam tempat. Menurut Anda, guru seperti apa yang baik dan meninggalkan kesan bagi Anda?" tanya salah satu dari 4 panelis pewawancara. 

Saya sedang dalam sesi tanya jawab untuk mendapatkan posisi dosen pengajar di sebuah sekolah keguruan. Pikiran saya melayang kembali ke masa lampau ketika SMA, di mana saya diberi sebuah penggaris 30 sentimeter oleh seorang guru matematika. Beliau, dengan uangnya sendiri, membelikan masing-masing anak muridnya ketika kami naik kelas, dan di penggaris itu ditempelkan stiker dengan nama kami. Terpikir pula dosen pembina saya, yang selalu meluangkan waktu ketika saya ingin berdiskusi. Walaupun ketika dia sibuk, dia pasti mau dan menyuruh sekretarisnya untuk menyempilkan saya di tengah-tengah rapatnya yang segudang. Dan terlintas pula Ibu Monita, yang ketika saya kelas 1 SD, sering menyuruh saya untuk membelikan dia camilan di kantin ketika waktu istirahat dan juga meminjamkan penghapus dari kelas sebelah. Bukan, bukan karena beliau senang mengerjai saya, tapi karena dia ingin melatih saya yang dulunya anak pemalu untuk berani berbicara dengan Ibu kantin dan guru lain. 

"Guru yang menaruh perhatian, Pak. Yang hafal nama anak muridnya, yang tau kecenderungan cara belajar mereka. Dan yang bisa diajak ngobrol tentang hal-hal lain selain pelajaran," jawab saya sebelum lanjut memberikan contoh-contoh. Jujur, itulah para guru yang saya ingat dan memberi insipirasi lebih pada saya. Kebanyakan dari kita, lulus sampai tingkat S1, bahkan S2 dan S3. Kalau dihitung, terkumpullah pengalaman bersekolah paling tidak 18 tahun. Bukan waktu yang singkat bagi saya untuk dapat menyimpulkan bahwa pendidikan lebih banyak memberi saya harapan daripada ilmu. Ilmu adalah sebuah kendaraan yang dapat kita setir ke kanan kiri maju dan mundur, tapi harapan adalah jalan layang yang menjanjikan ada sesuatu indah di depan sana, menjanjikan bahwa kita pasti sampai ke tempat tujuan, dan membuat kita bersemangat menjalani hidup. Banyak guru yang membantu saya mengumpulkan ilmu, merakit kendaraan saya. Tapi guru-guru yang berkesan bagi saya adalah mereka yang memberikan saya harapan, menyediakan jalan layang untuk ditempuh.

Kita semua pasti kenal Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia. Beliau lah yang meletakkan dasar pendidikan nasional Indonesia. Pemikirannya yang sangat modern dan bervisi jauh mengingatkan kita akan fungsi seorang guru yaitu: di depan memberi teladan, di tengah menimbulkan gairah, dan di belakang memberikan arah. Tidak ada sedikitpun di dalam motonya, dia berbicara mengenai ilmu pengetahuan, bagaimana mengajar matematika dengan benar, atau guru dengan metode pengajaran mana yang cocok untuk anak Indonesia. Beliau hanya berbicara mengenai apa yang diperlukan untuk membentuk anak yang nantinya akan menjadi pelajar sepanjang hayatnya, a life long learner, apa pun bidang yang akan ditekuninya. Anak yang tidak akan berhenti menyelesaikan kewajiban pendidikan tapi akan menuntut terus haknya untuk dididik. 

Sayangnya saat ini sistem pendidikan kita (bahkan di negara maju pun), bertumpu pada nilai dan hasil. Jika nilai IPA seorang anak murid tidak bagus, dia dianggap lamban dan bodoh. Dan latihan-latihan soal yang diberikan oleh guru sering kali menggiring murid agar dapat menyelesaikan ujian dengan baik, tidak peduli bagaimana caranya. Ketika waktu sudah tidak memungkinkan, menghafal mati menjadi pilihan terbaik. Dengan sistem pendidikan yang mengkotak-kotakkan kepintaran seorang anak menurut mata pelajaran tertentu, seorang guru dan juga para orang tua terpaksa lupa akan dasar pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai memberi teladan, menggali ide, dan memberi motivasi. Yang ada dipikirannya tinggal bagaimana anak murid saya mendapat nilai tinggi. Ini sangat berdampak kepada anak murid. Kalau kita mengibaratkan seekor ikan yang lincah berenang, tapi selalu dinilai dari kepintarannya dalam memanjat pohon, ikan itu akhirnya akan merasa dirinya sangat amat bodoh. Harus kita akui bahwa manusia diciptakan dengan bakat dan kecenderungannya masing-masing, sehingga sistem pendidikan yang tidak mementingkan eksplorasi dan membentuk kemampuan belajar (learning abilities) akan menghasilkan bangsa pencontek. Bangsa yang dapat mengikuti perkembangan zaman, tapi tidak memajukan zaman.

Ketika Ki Hajar tidak lagi ada, sepertinya bangsa kita kecolongan. Padahal landasan yang beliau ciptakan sangat maju dan merupakan sebuah revolusi paradigma pendidikan yang sangat kita butuhkan saat ini. 

Singkat cerita, saya diterima bekerja sebagai seorang pendidik. Jawaban saya tentang guru yang baik ketika diwawancara bisa saja terdengar seperti jawaban seorang idealis. Tapi memang itu yang saya percayai dan ingin selalu saya terapkan. Saya ingin murid-murid saya merasakan bagaimana saya merasa sangat berharga dan penting ketika dulu dosen saya selalu menyempatkan bertemu saya atau ketika Bu Monita mengerti apa yang saya butuhkan. Saya ingin mereka tahu ada banyak orang yang percaya bahwa mereka akan berhasil. 

Tanggal 28 November 1959, Ki Hajar Dewantara dinobatkan menjadi pahlawan pergerakan nasional Indonesia. Tepat tanggal itu, 27 tahun kemudian, saya dilahirkan.

Ketika Ki Hajar tidak lagi ada, masih ada saya dan mudah-mudahan Anda yang percaya bahwa pendidikan tidak semata-mata pemberian ilmu, melainkan pemberian teladan, gairah, dan arah.

Bersama rekan pengajar dan para murid
Note: Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Sampoerna School of Education: "Menjadi Pendidik"

No comments: