Pages

Thursday, April 04, 2013

Perantau ini Kembali

Sepertinya sudah cukup waktu dan cukup cerita untuk saya akhirnya menulis tentang tinggal di Jakarta. Tanggal 2 Januari 2012, saya akhirnya sampai di Bandara Soekarno-Hatta, setelah 24 jam terdampar di lounge bandara Riyadh. Waktu itu saya kembali ke tanah air dari Geneva, dan memilih untuk naik Saudi Airlines karena paling murah. Tapi sayangnya ada konsekuensi yang harus ditanggung: transit yang super lama dan pegel linu karena posisi tidur yang kelipet-lipet. Cuma satu keuntungan dari kejadian ini, yaitu mendarat di Jakarta menjadi terasa sangat istimewa. Saya rasa, semua tempat tujuan akan menjadi istimewa setelah terkungkung di airport Riyadh.

Tidak ada yang dramatis dari kepulangan saya. Tidak ada yang terasa terlalu aneh. Kata orang, kalau kita sudah terlalu lama di luar negeri, nanti kalau pulang pasti culture shock. Atau mungkin lebih tepatnya "home-shock", suatu fenomena kebalikan dari "home-sick". Kalau dipikir lebih dalam, saya keluar dari Indonesia umur 14 tahun, dan kembali lagi umur 25 tahun. Tentunya dalam rentang 11 tahun ini, saya pulang paling tidak 1 tahun sekali. Tetap saja, 11 tahun menetap di luar negeri bukan waktu yang sebentar. Apalagi di umur-umur remaja menuju young adults, banyak pemikiran-pemikiran dan idealisme tersendiri yang terbentuk dan terpengaruh dari lingkungan sekitar. Tapi saya bersyukur karena ternyata, negara asal saya tidak semengagetkan itu, kok. Menyenangkan malah.

Surga Versi Saya

Yang paling terasa adalah tentu harga barang-barang di sini. Ketika saya mencari kos, saya dapat tempat dengan harga 1.35 juta, yang adalah 135 US dollar!!!! Sementara ketika di US, paling murah sekitar 350 dollar di Texas. Waktu di New York saya membayar sekitar 600 dollar, dan itu pun sudah yang level pelajar kere. Makanan apalagi. Waktu pertama masuk kerja, saya ikutan katering, karena murah dan malas bergerak keluar cari makan. Kateringnya langsung mengantar ke kantor sehingga tinggal langsung diambil saja di lantai 1 (itu pun masih males turun tangga :) ). Harganya hanya Rp. 10,000 yaitu 1 dollar, sudah lengkap 3 lauk dan ditambah buah porsi kecil, dan termasuk ongkos kirim. Muraaaah!!!

Dan ngomong-ngomong tentang makanan... sejak pulang, berat badan saya sudah nambah xxx kilogram. Susah ngomongin makanan Indonesia; bukan hanya wide (banyak varietasnya) tapi juga deep (kaya dalam pengembangannya). Kita semua tau bahwa tiap daerah di Indonesia makanannya berbeda-beda. Makanan Padang jauh berbeda dari makanan Makassar, makanan Jawa jauh berbeda dari makanan Medan. Itu mengenai varietas. Mengenai "depth"nya, mari kita ambil contoh sebuah makanan bernama soto. Sebelum balik ke Indonesia, saya cuma tau yang namanya soto ayam (sekali lagi, kasian yaaaa...). Betapa terkejutnya saya menemukan yang namanya soto padang, soto ambengan, soto pekalongan, soto medan, soto betawi, soto bokoran, dan lain-lain. Luar biasa!!! Dan sebuah kebetulan yang mengasyikan bahwa saya tinggal di Kelapa Gading, tempat di mana sepanjang jalan, tidak lain tidak bukan berderet-deret ruko restoran. Mau Jepang, Korea, Steak, Kopi Tiam, tinggal tutup mata dan cap cip cup, pasti enak deh. Sungguh, bukan salah saya kalau berat badan saya naik. Salahkan makanan-makanan ini!!!

Buat saya, Indonesia itu surganya jasa pelayanan. OK, sebentar, sebetulnya jasa pelayanan di Indonesia itu amat buruk. TAPIIII... ingat bahwa di sini, asal ada uang, ada pelayanan. Hehehe... Gini gini, mungkin ini hal yang biasa buat banyak orang, ya. Tapi buat saya ini luar biasa. Saya tidak pernah, satu kali pun, dalam hidup saya, sebelum kembali ke Indonesia, mengalami yang namanya creambath. Kasian yaaaaah...... Pertama kalinya saya ikutan temen untuk creambath, saya jatuh cinta. Bayangkan, jari jemari memijat kuat pelipis, kepala, tengkuk, pundak dan tangan anda. Tiap pijatan melepaskan pikiran-pikiran negatif, mengurangi stress kerjaan, menyambung kembali neuron-neuron yang putus (OK, mulai lebay..). Semua ini berlanjut selama 1 jam penuh, sambil baca majalah, atau nonton TV, atau ngobrol dengan teman. Hanya untuk Rp. 45,000. Asik bangettt.... Saya membayangkan nanti di surga itu penuh dengan mbak-mbak creambath. Semoga yah.. Di US atau Eropa, pelayanan seperti ini bener-bener ga kebayar. Orang setiap mau potong rambut saja, sekitar 30 dollar melayang; jangan harap deh dipijet-pijet. Ini juga berlaku untuk jasa-jasa yang lain, seperti delivery makanan, tukang potong celana, tukang benerin pager... semuanya cepat, murah, dan menyenangkan.

Di sini juga saya banyak ketemu orang-orang Barat yang sangat menikmati Indonesia. Mereka jauh-jauh, mengeluarkan uang banyak, ngambil cuti, untuk ke negeri ini. Saya sudah di sini dan ini negara saya!!! I think that's a really awesome fact. Sejak saya balik, saya sudah ke: Manado (Sulut), Manokwari (Papua Barat), Semarang (Jateng), Jambi (Jambi), Lampung (Sumsel), Lombok (NTB), dan Bali. Weekend ini saya mau ke Green Canyon di Jabar, dan untuk beberapa long weekend mendatang, saya berencana ke Borobudur atau ke Pantai Kiluan. Indonesia ini ga bakal habis-habis dijalani. Ini adalah tempat yang dimupeng-mupengin sama banyak orang. Dan saya akan terus mupeng sambil menandai tanggalan hari-hari libur bersama.

High Definition

Tapi di balik makanannya, travellingnya, pelayanannya, dan kemurahannya, satu yang menjadi alasan saya yang paling utama: keluarga. Selama saya mengembara (jiaaah...), saya kehilangan banyak waktu dan momen-momen bersama keluarga. Ketika opa dan oma saya meninggal, saya tidak di sini. Ketika nyokap operasi, saya juga tidak menemani. Begitu banyak ulang tahun terlewatkan, dan kadang-kadang Natal dan tahun baru saya rayakan tanpa keluarga. Saat-saat seperti itulah yang buat saya kangeeen abisss... Dan sekarang, ketika sudah di sini, saya seperti kapal yang berlabuh di dermaga di mana ia di buat. Saya masih bisa bepergian, tapi selalu gampang untuk kembali ke dermaga ini, di mana saya bisa tidur di ranjang sendiri, ngelongok ke kamar sebelah untuk ganggu-ganggu si kakak, ke dapur untuk cari makanan sisa, dll. Semuanya terasa lebih hangat, lebih nyata, lebih nyaman, tertawa bisa lebih lepas, dan menangis lebih puas. Rumah dan keluarga buat saya bikin hidup jadi full color dan high definition.

Sisi Sederhana

Meskipun begitu, banyak orang yang masih tidak percaya bahwa sungguh saya menikmati Indonesia. Sering saya ditanya orang: Kenapaaa kok mau sih, di luar kan lebih asik. Jakarta macet, gaji jauh lebih kecil, semua berantakan... Setelah saya jelaskan bla bla bla (baca ulang penjelasan di atas), kadang-kadang orang masih susah untuk percaya. Pertama-tama, benar apa kata pepatah: You don't know what you miss until you have lost it. Dan saya bertahun-tahun kehilangan Indonesia, jadi mungkin orang-orang itu harus merasakan kehilangan itu juga untuk bisa akhirnya mengerti alasan-alasan saya. 

Yang kedua yang ingin saya katakan adalah, buat saya, ada dua sisi dari tinggal di Indonesia. Ada sisi glamor dan ada sisi sederhana. Yang saya sebutkan semua di atas adalah bagian dari sisi glamornya. Sisi sederhananya buat saya menarik, karena bagi seorang yang hidup di dunia modern, kesederhanaan selalu terlupakan. Ini menjadi pengingat yang sangat baik yang menarik kembali kita ke hal-hal yang mendasar: sopan santun, rasa bersyukur, semangat berbagi, kemauan berusaha, punya cita-cita, dan bahwa ga semua hal bisa dibeli dengan uang. 

Beberapa bulan ini, saya mulai belajar ngojek dan ngangkot, ikut desak-desakan sama manusia-manusia yang pulang kerja. Tidak jarang saya dapat tempat duduk dekat pintu keluar, yang kalau saya ga pegangan erat-erat, gampang saja untuk saya terguling keluar. Jauh dekat, masih Rp. 2000. Pernah sekali waktu saya kelewatan untuk berhenti dan udah kejauhan. Si Pak supir bilang dengan santainya, ntar neng turun aja tuh di situ, ambil angkot nomor 20, terus muter balik. Yang naik angkot saya ga usah bayar deh, sama angkot 20 aja bayarnya. Ih, saya terenyuh... bapaknya kok bisa yah, berhati generous gitu, padahal jelas-jelas penghasilannya pasti mepet. Pengalaman-pengalaman sederhana seperti ini yang saya ga bisa dapatkan ketika tinggal di negara maju.

Banyak yang masih bisa saya ceritakan. Di Jambi, ketika berkunjung di pabrik kelapa sawit, di kantornya sebelum masuk, masih harus membuka alas kaki seperti bertamu. Dan sebelum memulai rapatnya, diawali dengan berdoa. Di gang-gang kecil dekat kuburan Prumpung, saya ketemu dengan anak-anak marjinal Jakarta yang rajin datang bimbel gratis. Di ruangan kecil dengan lampu remang-remang, saya berhadapan dengan 3 anak-anak perempuan usia SMP. Mereka semangat belajar bahasa Inggris, bertanya apa sih bahasa di Inggris, Amerika, dan Australia? Di Kelapa Gading, di depan toko buah, saya ketemu anak kecil yang ngorek-ngorek kulit duren, sementara saya keluar dari tokonya bawa berplastik-plastik buah segar. 

Di kesederhanaan ini lah banyak visi dan misi hidup kita yang dipertanyakan. Banyak hal-hal yang dipelajari yang terlewat ketika tiga per empat dari hidup kita hanya dilalui di mewahnya perkotaan. Dan banyak pula keresahan yang muncul dari melihat kesederhanaan yang melenceng ke ketidakadilan.

Biasanya kita hidup santai-santai saja, tidak berbuat jahat, tidak menipu orang, tidak pula membuat hidup orang lain susah. Benar bahwa ketidakadilan banyak datang dari perbuatan orang-orang yang semena-mena. Tapi, sebenarnya ketidakadlian lebih banyak lagi datang dari orang-orang yang melihat suatu kejanggalan tapi tidak berbuat apa-apa. Injustice comes a lot from ignorance and apathy. Dan di Indonesia ini saya ditantang untuk jadi orang yang tidak cuma hidup di kemewahan. Ditantang untuk berani masuk ke dunia kesederhanaan dengan segala ketidakadilannya. Dan satu pertanyaan yang tidak akan pernah berhenti datang, "What are you gonna do about it?" 

Kembali

Begini intinya. Tempat-tempat lain yang saya tinggali, tidak saya pungkiri sangat mengasyikkan. Dan bukan berarti saya tidak akan pergi lagi ke luar negeri. Saya masih pengen main salju, lihat sakura, dan lihat jerapah di safari Afrika (ada yang mau sponsorin?). Namun, saya paling menjadi diri sendiri ketika berada di Indonesia. Di mana saya bisa ikut ciyus-ciyusan dan miapah-miapahan. Tempat di mana kita bisa masukin "fake birthday" ke restoran supaya dinyanyiin ulang tahun diiringi ember dan kembang api, lalu dikasih mug gratis dan kelapa muda gratis. Mantap!

Memang benar kata Ibu Sud. Percayalah pada Ibu Sud, ketika dia bilang:

Walaupun banyak negri kujalani
Yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah kurasa senang

Pada akhirnya di sini lah memang saya merasa senang. Di tengah kemewahan dan kesederhanaan. Yang membuat hidup setajam nonton IMAX HD. Yuk mari teman, siang ini makan di warteg Sunda, nanti sore pergi creambath, dan besok menelusuri indahnya Green Canyon.

No comments: