Bisa dibilang saya ini beruntung, menjadi seorang warga negara keturunan Tionghoa yang merasakan menjadi minoritas dan mayoritas dua-duanya. Tumbuh dan besar di Riau membuat saya lama-kelamaan menyadari bahwa saya ini berbeda dari orang Indonesia lainnya. Tapi di umur-umur kecil seperti itu, saya dan teman-teman semua buta warna, tidak mengerti bahwa perbedaan seperti ini adalah sebuah masalah bagi banyak orang. Sebagai satu dari tiga orang murid berketurunan di seantero sekolah, lebih terlihat tidak janggal juga ketika kami melebur bersama menjalin persahabatan. Mungkin bisa jadi lain cerita kalau ratio nya dinaikan menjadi 50:50.
Sekarang ketika sudah besar, dan lebih mengerti sejarah, dan lebih tidak buta warna, mulai lah saya menjadi lebih sensitif pula. Minggu lalu saya berkunjung kembali ke Riau. Di sebuah salon yang saya datangi untuk menghabiskan waktu, saya ngobrol dengan si mbak-mbak yang memijati kepala saya sepenuh hatinya. Kita semua tau bukan bahwa salon adalah tempat kliping gosip-gosip lokal maupun interlokal? Apalagi di kota kecil tempat saya besar itu. Secara saya memang bukan orang sana lagi dan kurang kenal siapa-siapa, mulai lah si mbak itu mengkorek-korek kehidupan saya. Hal pertama yang ditanyanya adalah: "Mbak, keturunan ya?" OK, saya sudah mengaku tadi bahwa saya jadi sensitif. Bukankah pada esensinya pertanyaan ini sama dengan pertanyaan polos lainnya seperti, "Mbak ini dari Padang kah?" atau "Mbak, orang Jawa ya?" Dan saya juga 100 persen berhak bertanya balik kepada si mbak creambath, dari mana kah dia berasal? Sebuah percakapan yang wajar saja bukan? Tapi ternyata sejarah mengajarkan lain, dan masyarakat bergejolak dengan berbeda pula. Pertanyaan polos tentang keturunan itu sudah dipenuhi dengan bobot konotasi yang susah dihilangkan, seperti sesuatu yang langsung menurunkan tembok pembatas, bercerita panjang tentang betapa tidak sehatinya kita. Tiga kali saya ditanya pertanyaan tersebut selama di Riau, oleh orang-orang yang berbeda, mengingatkan saya bahwa Indonesia belum siap kalau saya menjawab dengan, "Lalu, so what gitu lohhh?"
Tapi, begini kawan. Ternyata sangat benar kata-kata mutiara: Tak kenal maka tak sayang. Buktinya ketika saya bertemu dengan teman-teman lama saya, saya tidak merasa berbeda sama sekali. Tidak pernah saya mendefinisikan mereka berdasarkan warna kulit, logat, dan sebagainya. Demikian pula, saya tidak pernah merasa didefinisikan berdasarkan keturunan saya. Kami cuma ingat dulu sama-sama ingusan, teman telpon-telponan, sama-sama jiplak peer, jajan di kantin, dll. Dan yang ada justru kita mentertawakan dunia yang dengan bodohnya tidak mengerti bahwa mereka kehilangan banyak dengan adanya pengkotakan di masyarakat. Ketika saya sampai di Pekanbaru, teman saya yang berjilbab dan berkulit gelap (dia ngaku sendiri looo... bukan saya yang bilang.. hehe) berbaik hati menjemput dengan motornya. Tapi karena ternyata kaca spionnya hilang satu, dia tidak diperbolehkan masuk ke kawasan kompleks sehingga saya yang harus nyamperin dia ke gerbang kompleks. Kami saling BBM selama saya dalam perjalanan ke gerbang.
Dia: Aku bilang aja sama satpam-satpam ini kalo lagi mau jemput adek.
Saya: Hahaha, nanti kaget loh mereka..
Dia: Iya, yang satu kaya orang India, yang satu matanya sipit.
Saya dan dia serentak mengirim message yang sama: Bilang aja lain Bapak.
Ketika sampai di gerbang kompleks, memang ada 4 satpam di sana. Saya dan dia ketawa-ketawa berpelukan erat di pelataran motor, dihujani pandangan para satpam yang tidak kami pedulikan. Kami melepaskan pelukan, saling mengamati satu sama lain, "Sama-sama tambah lebar kita."
Mungkin tidak semuanya memang dapat ditertawakan. Kami berbicara tentang bagaimana di Medan, contohnya, batas-batas secara ras sangat terasa. Teman saya yang Muslim merasa sering diomong-omongi oleh orang Hokkien dalam bahasa yang tentunya tidak ia mengerti. Sebagai dokter gigi muda dia juga pernah dimusuhi orang pegawai-pegawai di klinik tempatnya bekerja yang didominasi oleh Batak Kristen. Teman saya yang dokter umum menimpali dengan kasus senioritas di universitas yang menurut saya juga "rasialisme", di mana para senior semena-mena pada juniornya karena merasa mereka lebih tua, lebih baik, mempunyai hak untuk tidak bersahabat dan mengerjai adik kelasnya. Tertawa itu hanya dapat dilakukan ketika kita hanya mengetahui kulit-kulit permasalahan atau ketika saking pelik dan tidak masuk akalnya suatu masalah, tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain tertawa. Semua di antara kedua ekstrim tersebut, getir dan miris mendengarnya.
Setelah kembali ke Jakarta, tepatnya Kelapa Gading, kembali saya menjadi kaum mayoritas. Dari pengunjung mall, penjual makanan, para tetangga, orang Gereja, hampir semuanya berketurunan. Di komunitas seperti ini, gampang untuk meragukan bahwa masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia hanya 5% jumlahnya. Memang tidak dapat dipungkiri, birds of the same feather flock together, burung-burung berbulu sama berkumpul bersama. Psikologi menjadi mayoritas tentu berbeda dengan minoritas. Sebagai minoritas, kita lebih merasa defensif, seperti harus ada yang dibela terus menerus, menjelaskan "keanehan" kita, dan berjuang lebih untuk dapat diakui. Menjadi mayoritas membuat kita jauh lebih nyaman dan bersifat opresif, karena merasa punya banyak backing-an. Untuk menghilangkan ini semua, bukan hanya susah, tapi rasanya tidak mungkin karena sebagai manusia ada keinginan untuk selalu diakui atau memiliki rasa "belonging" entah itu di entitas terkecil masyarakat yakni keluarga, sampai ingin mempunyai harkat sebagai makhluk hidup di jagat raya.
Di pagi hari Chinese New Year 2012, saat channel TV lain menyorot pertunjukan barongsai, pasar cina, dan kegiatan Imlek lainnya, bokap saya memilih nonton TVRI. Oh, sebelum nonton TV, beliau menyapu halaman rumah, sebuah hal yang paling tabu untuk dilakukan di hari Imlek karena dianggap membuang rejeki. Saya cuap-cuap dari dalam rumah menyuruh bokap untuk berhenti nyapu karena itu yang saya dengar di TV, sementara dia tidak peduli, hanya ingin rumahnya bebas daun. So, there goes our family's luck and prosperity for the coming year. Kembali ke TVRI, ada diskusi menarik yang mengundang Christianto Wibisono dan Murdaya Poo diantara para pembicara, keduanya berketurunan Tionghoa. Bapak Christianto adalah co-founder Tempo dan Pak Murdaya adalah konglomerat di Indonesia. Diskusi diputar mengenai banyak hal mulai dari politik, bisnis, generasi muda, budaya, dan lain-lain. Tapi inti yang saya dapat adalah bagaimana kita maju ke depan sebagai bangsa Indonesia. Sudah saatnya masyarakat Tionghoa Indonesia tidak berkiblat lagi ke negara Tiongkok, tapi ke Pancasila, dan ikut berpartisipasi di rencana kenegaraan walaupun sudah dikebiri dari politik oleh Pak Harto berpuluh-puluh tahun. Ikut memikirkan bagaimana menaikkan pendidikan, merapatkan jurang ekonomi, bersaing dengan negara lain, berkontribusi ke masyarakat, bervisi sama sebagai bangsa. Tentunya bukan artinya menafikan kebudayaan Tionghoa atau melupakan asal nenek moyang, tapi untuk menjadi negara yang utuh dengan Bhinneka Tunggal Ika nya.
Sebelum Indonesia merdeka, kita itu kawasan tidak bernama yang terdiri dari suku-suku. Perang memaksa kita untuk mempunyai musuh yang sama dan tujuan yang sama. Untuk saling mengenal satu sama lain, bertukar pikiran, menjadikan orang yang tadinya asing menjadi saudara. Kadang-kadang benar kata seorang teman saya, bahwa mungkin kita ini butuh dijajah Belanda lagi untuk menjadi negara yang hebat. Kita butuh perang besar lagi untuk terpaksa saling berkenalan ulang. Sungguh, hanya sesederhana dan sedalam membuka mata dan berjabat tangan, memulai persaudaraan. Yang bersaudara akan susah untuk merasa iri, tidak akan saling mencelakakan. Bahkan saling toleransi dan menghormati, tidak dapat dilakukan kalau kita tidak mengenal siapa yang kita hormati. Bertoleransi tanpa bersaudara tidak beda dengan mengabaikan dan tidak mau tahu.
Saya jadi teringat sebuah "pidato" perpisahan dari seorang dosen Universitas Brawijaya yang hendak pulang saat itu dari Austin, Texas, tempat di mana kami sama-sama menuntun ilmu. Hampir 3 tahun yang lalu, dia berdiri di depan segerombolan mahasiswa Indonesia karena ditodong harus berbicara di acara perpisahannya. Saya tidak menyangka dia ternyata akan berbicara tentang perbedaan ras di antara kami.
"Sering kali aku ngomong sama diriku sendiri, bahwa ada sesuatu yang nggak bener ini. Aku sudah hidup selama... tiiit... (bunyi sensor), tapi aku nggak tau kenapa masyarakat memisahkan kita. Kalian dengan dunia kalian sendiri, pikiran sendiri, dan kami dengan pikiran kami sendiri. Aku merasa ga ada alasan untuk aku mengenal kalian."
Selanjutnya, selengkapnya, dan sebaiknya, silahkan dengar sendiri dari yang berbicara :)
Gong Xi Fat Choi!!! Xin Nan Kuai Le!!!
2 comments:
anak Indo tanggung yang lahir di US mendekati saya:
dia: are you chinese?
saya: sorry, im indonesian
dia: no, you are chinese.
saya: kamu bisa bahasa indo? tadi dicariin mama kamu loh... =p
dia: ???
So is he claiming he's American or Indonesian?
Post a Comment