Pages

Tuesday, October 22, 2013

Pulau Pari

Indonesia itu indah banget. Cantik tanpa berusaha. Kita bukan Las Vegas yang perlu kasino-kasino, atau Perancis yang butuh menara Eiffel. Kalau diibaratkan cewek, Indonesia itu seperti perempuan yang tidak perlu bersolek; polos, alami, tapi bikin cowok-cowok meleleh :)

Saya tidak pergi jauh-jauh, hanya satu setengah jam dari Jakarta. Sebentar, itu pernyataan yang salah, karena sebenarnya saya tidak pergi keluar Jakarta. Pulau Seribu memang terkadang seperti kabupaten anak tiri, mungkin karena lokasinya yang harus ditempuh dengan transportasi air. Tepatnya, saya pergi ke Pulau Pari.

Sesampainya di Muara Angke, pelabuhan di mana saya naik kapal, bau-bau ikan mulai tercium menyengat. Saya pergi satu rombongan ber-25 orang dengan menaiki charteran metromini. Kami mulai tutup-tutup hidung ketika melewati pasar ikan. Saat turun dari metromini, kami pun dipalak preman Muara Angke, diminta membayar parkir meskipun metromini kami hanyak stop sebentar untuk menurunkan.

Kapal menuju Pulau Pari memiliki keamanan dan kenyamanan bertaraf sangat lokal. Setiap penumpang tidak diberikan jaket pelampung. Di tengah perjalanan saya ngobrol dengan teman saya, "Eh, menurut lo, ini sebenernya kapalnya overloaded ga sih? Kalau nih misalnya kita kenapa-kenapa, kira-kira pelampungnya cukup ga buat semua orang?" Dia terdiam sebentar lalu menjawab, "Kayaknya enggak deh." Lalu kami berdua terdiam.

Di atas kapal kami disangkutkan bendera Indonesia ukuran sedang. Lusuh, bagian putihnya kehitam-hitaman, sisi benderanya sudah dedel dari jahitannya. Inilah bendera yang terlalu sering diterpa angin, dan tidak diganti meski jam terbangnya sudah melebihi masa pemakaian. Tapi keusangannya ini memberi nilai melankolis, mengingatkan saya akan kerja keras nelayan Indonesia, bahwa walaupun mungkin kita negara yang lelah akan banyak hal, kita tetap berusaha berkibar.


Muara Angke menuju Pulau Pari

Di Pulau Pari, ada satu pantai bernama Pantai Pasir Perawan. Bagusnya minta ampun. Mata saya langsung membesar dan hati saya gembira ketika pertama kali sampai di sana. Waktu itu siang hari, sehingga airnya hangat dari water heater alami. Pasirnya putih dan halus. Sampai 300 meter dari bibir pantai, airnya masih dangkal sepaha; paling tinggi juga hanya sepinggang. Sehingga anak-anak yang tidak bisa berenang pun bisa main-main sampai jauh dari pantai. Di Pantai Pasir Perawan saya mengapung punggung terlentang, merasakan surga di Jakarta.

Di sisi lain pulau, ada pantai LIPI. Saya melewatkan sunset di sana karena terlalu lelah. Tapi teman-teman yang ke sana menyaksikan bintang laut kawin, bertumpuk dan melekat. Kaki-kakinya saling mengisi rongga sehingga menciptakan simetri yang enak dilihat mata. Ternyata bercinta tidak selalu vulgar :)

Hanya untuk konsumsi 17 tahun ke atas

Di antara keindahan alam, ada kebrutalan manusia, seperti si preman muara angke, atau si supir metromini yang menjemput kami kembali di pelabuhan satu jam terlambat. Tapi, kami ber-25 merasakan keindahan yang belum tentu didapat orang lain. Diterima dan menerima seutuhnya, dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing. Bagi saya sendiri, berada di tengah-tengah 25 orang tanpa ada satupun yang satu ras satu agama dengan saya, ternyata tidak masalah. Saya dirangkul, and that means a lot.

Inilah buat saya Indonesia. Indah meski tidak sempurna. Tapi kalau kata Tyra Banks kepada model-modelnya, your imperfections make you interesting. Perfection is boring. (Maafkan reference quote saya yang agak cemen). Dan di dalam asinnya air laut, di bawah teriknya matahari, di atas kapal tua, ketika menggowes sepeda, dan saat mengobrol santai di teras rumah homestay, Indonesia mengizinkan saya untuk bahagia.

No comments: