Pages

Friday, May 30, 2014

Refleksi Harpitnas

Tinggal di Jakarta itu tidak gampang. Bukan rahasia bahwa seorang lulusan sarjana pun sekarang ini sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan. Kalau pun mendapatkan pekerjaan, mungkin gajinya tidak setimpal dengan investasi pendidikannya, juga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Jika si karyawan itu belum menikah, mungkin masih dapat menikmati hidup dengan gajinya meskipun hal dasar seperti cicilan mobil dan rumah belum mampu. Tapi jika sudah menikah, apalagi mempunyai anak, pasti akan terasa sangat berat dengan pengeluaran segunung dan pemasukan seadanya.

Tidak heran di Jakarta banyak pengemis dan pekerja serabutan. Apa saja asal tidak mencuri. Beberapa hari yang lalu, saya pulang dari luar kota dan hendak naik Damri dari bandara. Ketika bus datang, saya cepat-cepat menuju bus untuk naik. Hanya sekitar 5 meter dari bus, seorang pemuda datang, "Mbak, Rawamangun, ya?". Saya mengangguk dan dengan cepat dia menarik tas yang sedang saya angkat dan menuju ke bus. Saya setengah kaget dan mengikuti dia dengan terburu-buru pula. Setelah naik bus, dia meletakan tas saya di tempat bagasi dan menunjukkan bangku kosong ke saya. "Mas, apa sih, saya kan ga minta diangkatin!" hardik saya begitu ada kesempatan. Dia berdiri di sebelah bangku saya, "Mbak, bantu-bantu saja, Mbak," katanya. Entah kenapa marah saya sedikit mereda. Kemungkinan besar karena kesopanan di nadanya yang meminta. Saya keluarkan uang kecil tetap sambil cembetut kesal, dan dia pun turun dari bus setelah itu.

Di perjalanan pulang, saya berfikir. Di terminal bandara, ada berpuluh-puluh orang yang bekerja seperti itu. Yang naik Damri, kebanyakan tidak mungkin membawa koper-koper besar. Kalaupun iya, masih bisa pakai trolley. Berapa besar kemungkinan si Mas tersebut akan dipergunakan jasanya? Kalau dia tidak nekat mengambil inisiatif dengan mengangkat paksa dan meminta uang, dari mana dia mendapatkan "customer"? Saya jadi lebih bisa mengapresiasi si Mas yang masih mau bekerja, meskipun sedikit kurang sopan; yang masih mau menunggu di bandara, berharap ada yang bisa digarap. Si Mas yang tidak malu lagi, tidak berpikir kata orang, yang penting uang halal.

Memang betul rasanya, semakin kepepet, semakin kita tidak malu-malu lagi. Belakangan ini saya memegang kupon voucher untuk meminta sumbangan bagi Jambore Sahabat Anak. Jambore Sahabat Anak adalah acara 2 hari 1 malam bagi anak-anak jalanan dan marjinal untuk berkemah, bermain, dan mendapatkan inspirasi dari workshop-workshop yang diberikan. Untuk membiayai acara ini yang dihadiri 1000 anak dan 500 pendamping, uang dibutuhkan sangat banyak. Maka dari itu kami menjual voucher sumbangan ini. Terus terang, saya selalu malu-malu ketika menawarkan voucher ini ke teman-teman, tidak enakan hati, segan untuk meminta orang, walaupun saya sangat meyakini bahwa acara ini bermanfaat. Saya pun jadi banyak merefleksikan hal ini, kenapa kok saya pemalu sekali untuk mencari dana?

Suatu malam saya dan beberapa teman sedang makan di Yoshinoya. Kemudian saya mengeluarkan kupon voucher itu dan menawarkannya, "Eh, mau ga nyumbang? Untuk acara Jambore anak jalanan nih." Saya merasa sebagai penodong. Teman saya memberi 20 ribu rupiah, kemudian bertanya, "Lo masih pegang berapa kupon lagi emang?" Saya jawab, ada 15, masing-masing Rp. 10.000. Kemudian dia bilang, "Kalau lo tawarin ke semua orang-orang ini," katanya menunjuk para pengunjung Yoshinoya, "pasti langsung habis, deh." Muka saya langsung mengerut ngeri. "Hahh??? Jangan lah... mengganggu gitu, malu banget, kan ga kenal!" Dengan santainya teman saya bilang, "Sini sini gw tawar-tawarin ke mereka, tapi lo dibelakang gw, jadi kalo ditanya-tanya tentang acaranya lo bisa jawab." Saya panik, "Serius lo???" Singkat cerita, kami pun nekat. Percobaan pertama pada sepasang kekasih yang waktu teman saya memberi kalimat pembuka, "Permisi, kami dari Sahabat Anak...", si cowo langsung mengangkat tangannya, "Ga mau..", kemudian beranjak pergi. Kami bengong berdua. Percobaan kedua adalah pada sebuah keluarga dengan dua anak. Si bapak melirik istri, kami merayu si tante, dan akhirnya dia mengeluarkan 20 ribu. Yayyy kami berhasil!!!

Itu lah ceritanya pertama kali saya meminta-minta pada orang yang saya ga kenal. Rasanya deg-degan, malu, ga enak hati, semua bercampur. Mau ga mau saya ingat dengan adik-adik di Sahabat Anak sendiri yang banyak bekerja di jalanan, mengamen ataupun langsung meminta uang. Mungkin pertama-tama ketika mereka ikut dengan teman, saudara, atau orang tuanya, mereka juga merasakan hal yang sama. Tapi setelah dilakukan berulang-ulang, setiap hari, semua rasa itu pasti hilang. Tidak ada lagi rasa malu, penolakan menjadi biasa, jalanan menjadi rumah, semua orang menjadi sumber nafkah. Gampang, tidak ada bos, tidak perlu keterampilan apa pun, semakin kecil justru semakin banyak uang. Dan masih halal pula uangnya. Tapi menurut saya mereka benar-benar kehilangan harga diri.

Saya tau kenapa saya malu-malu: karena harga diri saya tinggi, saya belum bisa meminta sesuatu tanpa bekerja, saya jauh lebih bernilai daripada belas kasihan orang. Bagi adik-adik yang sudah mengadahkan tangan dari umur yang sangat kecil, harga diri mereka terampas. Pekerjaan full-time mereka adalah menuntut untuk dikasihani. Butuh bertahun-tahun untuk memperbaiki cara fikir mereka terhadap kehidupan, menimbulkan kembali perasaan-perasaan yang telah dikebalkan.

Dari roleplay kecil saya sebagai seorang peminta-minta, saya mengintip sedikit ke dalam kehidupan seorang pengemis. Kalau hidup saya bergantung pada menjual kupon voucher, saya pun pasti tidak akan malu lagi. Dan kalau keterpurukan saya adalah sumber uang saya, saya pun akan rela untuk menjadi terpuruk. Maka dari itu saya jadi belajar, jika para pengemis dan anak jalanan mengandalkan belas kasihan saya, saya tidak boleh mengasihani mereka, tapi mengasihi saja. Mungkin kasih roti lalu duduk bareng 5 menit untuk ngobrol, atau kasih susu, atau memberikan "tips" yang lebih besar bagi mereka yang bekerja serabutan. Saya pikir saya juga akan senang, loh, kalau menawari voucher lalu ada yang ngajak ngobrol lebih.

Di Jakarta, semua orang berusaha, saya mengerti. Mudah-mudahan saya ingat itu kalau melihat para tukang parkir, para joki 3 in 1, porter-porter liar bandara, pengamen, dan bahkan pengemis-pengemis yang "hanya" mengadahkan tangan.

No comments: